Skip to main content

Metafisika Dalam Era Globalisasi



Metafisika Dalam Era Globalisasi
Menurut Al-Attas (2010), masalah kekeliruan ilmu merupakan masalah yang paling mendasar dalam kehidupan masyarakat modern di era globalisasi saat ini. Kekeliruan ini disebabkan masuknya paham sekuler yang dibawa oleh peradaban barat ke dalam ilmu kontemporer khususnya dalam bidang pendidikan. Akibat dari kekeliruan ilmu ini adalah munculnya tindakan manusia yang keliru juga sehingga menghilangkan kemampuan manusia untuk melakukan tindakan yang benar (loss of adab). Tindakan ini akan memberikan kesengsaraan bagi manusia sendiri. Hal ini dibuktikan dengan semakin majunya sains dan teknologi di era ini, manusia bukan meraih kebahagiaan melainkan merasakan keresahan dan kekeringan jiwa serta kerusakan alam yang semakin menjadi-jadi. Kerusakan lingkungan, wabah penyakit, bencana alam, degradasi moral, kriminalitas dan peperangan terus menerus terjadi.
Parahnya, paham sekuler sudah menjadi landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang selanjutnya diajarkan di sekolah-sekolah. Sehingga semua ilmu dibangun dalam kerangka rasionalisme dan empirisisme. Salah satu ilmu yang terpengaruh oleh paham ini adalah ilmu fisika. Oleh karena itu, ilmu fisika perlu mendapatkan masukan mengenai keislaman. Islamisasi fisika bukan mengislamkan teori Newton atau relativitas menjadi suatu teori gerak baru. Bukan pula menserasikan Al Quran dengan temuan fisika terkini, namun yang dimaksud dengan islamisasi fisika disini adalah islamisasi filsafat sains yang melatarbelakangi lahirnya teori fisika tersebut yang berangkat dari metafisika mengenai hakikat alam semesta.
Kesadaran manusia tentang keyakinan dapat dijelaskan dengan hal berikut. Dunia ini terkadang tidak sesuai dengan pandangan kita tentang dunia sendiri. Inilah yang menjadi kritik utama atas perkembangan empirisme dan positivisme modern yang paling mendasar. Artinya adalah kemampuan indera manusia sangat terbatas dan ada kemungkinan untuk menyimpang dari kebenaran. Sebagai contoh sederhana: kita biasa bicara tentang matahari terbit dan tenggelam, dan jelas tampak secara inderawi bahwa matahari bergerak naik turun, sementara kita dan bumi tetap pada tempatnya. Baru setelah beberapa ribu tahun kita mengenali bahwa sesungguhnya dibalik penampakan, bumi yang bergerak mengelilingi matahari dan bukankah berarti matahari tidak pernah terbit? Dan bukankah matahari tidak pernah tenggelam? Apakah malam itu juga ada seperti yang kita lihat secara kasat mata? Atau bahwa sebenarnya siang dan malam itu tidak ada? inilah masalah yang tidak mungkin bisa dijawab oleh fisika dan matematika dan seharusnya ditelusuri melalui konsep metafisika.
Sekularisasi juga telah menyebabkan penelitian fisika hanya menyibukkan diri dengan fenomena empiris dan melepaskan kaitannya dengan Realitas Mutlak (Tuhan). Layaknya mesin, alam bekerja sendiri berdasarkan mekanisme sebab dan akibat sehingga menegasikan kehadiran Tuhan. Sekiranya Tuhan memang ada (sesuatu yang diragukan oleh banyak fisikawan dunia), Tuhan tidak punya peran dan kendali terhadap kejadian-kejadian di alam. Lalu manusialah yang kemudian menjadi Tuhan yang mengendalikan alam. Di sinilah manusia mencabut unsur metafisika religius dari ilmu fisika.
Berbeda dengan paham sekular, semua konsep Islam dibangun dalam kaitannya dengan Tuhan. Oleh karena itu semua urusan di dalam Islam adalah religius. Demikian juga pandangan Islam mengenai alam. Di dalam Islam, alam bukan sekedar materi tanpa makna, melainkan tanda (ayat) dari kehadiran dan kebesaran Allah. Oleh karena itu ketika seseorang meneliti dan mempelajari fisika berarti ia sedang berusaha mengenal Tuhannya. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat Ali ‘Imran 191 yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi seraya berkata, “Wahai Tuhan kami, tidaklah engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, maha suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa api neraka.”
Ayat di atas menegaskan bahwa kegiatan ibadah (mengingat Allah) berjalan bersamaan dengan kegiatan penelitian alam (memikirkan penciptaan langit dan bumi). Sedangkan ujung dari kedua kegiatan ini adalah mengenal semakin dekat dan mengenal Allah SWT. Pada titik inilah fisika dan metafisika Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan (tauhid). Oleh karena itu dalam Islam tidak dikenal istilah “fisika untuk fisika”, artinya penelitian fisika bukanlah untuk sekedar kesenangan memecahkan misteri alam. Itu sebabnya di sepanjang sejarah Islam kita tidak mengenal ada ilmuwan Muslim yang menjadi anti Tuhan setelah menguasai ilmu fisika, atau ilmu apa pun, karena landasan mempelajarinya berangkat dari keimanan dan pengabdian kepada Allah.
Sebaliknya di Barat, tidak sedikit ilmuwan yang semakin tahu tentang alam semakin meragukan keberadaan Tuhan, bahkan menjadi anti Tuhan. Laplace, seorang ahli astronomi Perancis abad ke-18, ketika ditanya Napoleon tentang pemeliharaan Tuhan terhadap alam semesta menjawab, ”Yang  Mulia, saya tidak menemukan dimana tempat pemeliharaan Tuhan itu.” Sementara Hawking, fisikawan yang dianggap paling tahu soal kosmologi, sampai sekarang pun masih saja bertanya apakah alam ini memiliki Pencipta, dan kalau ada apakah Ia juga mengatur alam semesta. (Brief History of Time)
Di negeri Muslim seperti Indonesia, walaupun tidak sampai meragukan Tuhan, umumnya ilmuwan Muslim kurang menguasai ilmu agama. Sekularisasi telah menyebabkan timbulnya kepribadian ganda (split personality) dalam diri ilmuwan tersebut. Hal itu karena visi sekular selalu memandang realitas secara dikotomis. Sains adalah sains, sedangkan agama adalah agama. Keduanya tidak berkaitan, sehingga wahyu tidak ada hubungannya dengan sains yang rasional dan empiris.
Dalam ajaran Islam, kehidupan manusia di dunia jauh lebih singkat daripada kehidupan di akhirat. Dengan lebih singkatnya kehidupan manusia di dunia maka muncullah pertanyaan, kemanakah kehidupan yang singkat ini akan diarahkan? Pertanyaan ini terkadang menjadi sesuatu yang diremehkan oleh sebagian orang. Namun pertanyaan ini akan menjadi penting jika kita telah melihat kondisi umat Islam di dunia yang sedang dilanda krisis kehidupan. Sebagian besar orang muslim di dunia khususnya di Indonesia semakin hari maka identitasnya semakin mengarah kepada kehidupan barat. Dalam istilah lain disebut kebarat-baratan atau westernisasi. Westernisasi ini terjadi dalam aspek yang mendasar yaitu pada pola pikir manusia sendiri. Jika hal ini terjadi maka yang perlu kita perhatikan lebih dalam lagi dari krisis kehidupan ini adalah krisis keilmuan yang tidak lagi memperhatikan wahyu Ilahi sebagai landasan filosofinya.
Sesungguhnya, krisis kehidupan yang terjadi dalam diri umat Islam sekarang ini disebabkan karena mereka belum sadar tentang apa yang disebut dengan metafisika. Umat Islam wajib memahami metafisika karena pandangan mengenai hakikat dan alam terangkum dalam suatu kerangka metafisik. Jika kita tidak memahami kerangka metafisik kita sendiri, kemungkinan besar kita akan keliru dan terperosok ke dalam pandangan lain mengenai alam dan hakikat yang berbeda yang tidak sesuai dengan jiwa kita, bahkan yang tidak benar. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai umat Islam untuk memahami apa yang disebut metafisika dalam bingkai Islam.
Banyak para ulama’ dikebanyakan negara muslim yang memandang bahwa hidup adalah dengan melihat dunia ini. Tetapi bagi umat Islam, khususnya bagi mereka yang cerdas akan mengetahui bahwa kata dunia tidak dipahami sebagai sesuatu yang terpisah dari kata akhirat, sebagaimana Islam dan Al Qur’an memandangnya. Ketika Islam berbicara tentang worldview, kita tidak bermaksud melihat dunia ini. Yang kita maksudkan adalah pandangan akan kenyataan dan kebenaran sekaligus, serta pandangan mengenai keberadaan secara keseluruhan, tidak hanya keberadaan di dunia, tetapi tentang dunia dimana kita berasal dan tentang dunia dimana kita akan menuju. Jadi, jika umat Islam tidak mengambil pelajaran dari hal ini maka mereka pasti akan sesat dalam memandang sesuatu, yaitu dalam hal kemimanan serta agama.

Sumber
Al-Attas. (2010). Islam dan Sekularisme.



















Comments

Popular posts from this blog

Hubungan Epistemologi, Metodologi, Dan Metode Ilmiah

Hubungan Epistemologi, Metodologi, Dan Metode Ilmiah Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melainkan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis (Senn, 2002). Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode merupakan prosedur ...

Implementasi Dalam Penelitian

Implementasi Dalam Penelitian Pelaksanaan penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif, sebenarnya merupakan langkah-langkah sistematis yang menjamin diperoleh pengetahuan yang mempunyai karakteristik rasional dan empiris. Secara filosofis kedua pendekatan tersebut mempunyai landasan yang berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang didasarkan pada filsafat positivistik. Filsafat positivistik berpandangan bahwa gejala alam dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Proses penelitian dimulai dari proses yang bersifat deduktif, artinya ketika menghadapi masalah langkah pertama yang dilakukan adalah mencari jawaban secara rasional teoretis melalui kajian pustaka untuk penyusunan kerangka berpikir. Bagi penelitian yang memerlukan hipotesis, kerangka berpikir digunakan sebagai dasar untuk menyusun hipotesis. Langkah berikutnya adalah mengumpulkan dan menganalisis data. Tujuan utama langkah ini adalah un...

Perbedaan Ilmu Dengan Pengetahuan Mistik

Perbedaan Ilmu Dengan Pengetahuan Mistik A.     Ilmu 1.     Hakikat ilmu Ilmu bersifat rasional Contoh: Air selalu menempati ruang 2.     Struktur ilmu Metode ilmiah Contoh: Makhluk hidup yang ada didunia ini selalu berkembang dan tumbuh 3.     Epistimologi ilmu Epistimologi yang mengkaji pengetahuan manusia. Pembagian epistimologi yang meliputi epistimologi umum (memunculkan pertanyaan  ada apa? ), epistimologi khusus (memunculkan pengetahuan yang diproses dan dapat di pertanggung jawabkan, metodologi (mengkaji langkah-langkah praktis untuk memperoleh pengetahuan yang benar).  Pada mulanya sumber pengetahuan adalah akal. Adapun pengembangan yang lain menyatakan pengalaman, nalar, intuisi, keyakinan, otoritas dan wahyu merupakan sumber pengetahuan. Sumber pengetahuan merupakan sumber dalam rangka mencari kebenaran. Dimana teori kebenaran terdiri atas teori korespondensi, teori koherensi, teori...