Fisafat
Menurut Pandangan Immanuel Kant
A. Akar-Akar Pemikiran Kant
Immanuel Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan
“Pencerahan”, yaitu suatu masa di mana corak pemikiran yang menekankan
kedalaman unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Setelah hilang pada
masa abad pertengahan (di mana otoritas kebenaran, pada umumnya, ada pada
gereja dan para peter), unsur rasionalitas itu seakan ditemukan kembali pada
masa Renaisance (abad ke-15), dan kemudian mencapai puncaknya pada masa pencerahan
(abad ke-18) ini.
Sebagai filsuf yang hidup pada puncak perkembangan Pencerahan
Jerman, Kant sudah tentu terpengaruh suasana zamannya itu. Kant gelisah dengan
kemajuan yang dicapai manusia. Bagaimana manusia bisa menemukan hokum alam, apa
hakikat di balik hokum alam (metafisika) itu, benarkah itu Tuhan? Bagaimana
manusia mempercayai Tuhan? Inilah beberapa kegelisahan (akademik)nya. Sama
seperti Newton yang mencari prinsip-prinsip yang ada dalam alam organik, Kant
berusaha mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan
manusia. Inilah yang kemudian menjadi kekhasan pemikiran filsafat Kant, dan
terutama metafisikanya yang dianggap benar-benar berbeda sama sekali dengan
metafisika pra Kant.
Kant terdorong untuk menggagas medote filosofi baru itu karena
alasan yang sama dengan alasan Descartes: ia bertanya dalam hati mengapa
ilmu-ilmu lain maju pesat, tetapi metafisika tidak demikian. Sekalipun begitu,
jawabannya atas pertanyaan ini bukan hanya mengabaikan masalah benak-badan seluruhnya,
melainkan juga kontribusi utama Descartes lainnya: yakni keyakinannya akan
obyektivitas mutlak dunia eksternal.
Kant menamai sendiri cara berfilsafatnya: metode “Kritis”. Judul
tida buku utamanya, yang di dalamnya ia kembangkan sistemnya, masing-masing
dimulai dengan kata “Kritik”. Setiap buku itu menggunakan “sudut pandang” yang
berlainan; masing-masing menghadapi semua pertanyaan masing-masing dengan ujung
pandang khusus. Kritik pertamanya, (CPR), mengambil sudut pandang teoretis.
Ini berarti jawaban-jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan ini berkenaan
dengan pengetahuan kita. Dua kritik lainnya, kadang-kadang menjawab pertanyaan
yang sama dengan cara berbeda, karena mengambil sudut pandang berbeda.
B. Pengaruh Leibniz dan Hume
Kecuali tradisi Pencerahan dan tradisi Peistis yang memiliki
pengaruh dalam kehidupan Kant, Leibniz dan Hume adalah di antara banyak filsuf
yang mempunyai pengaruh besar pada Kant, Terutama untuk membangun
epistemologinya. Khusus kepada Hume, Kant merasa bahwa Hume-lah yang telah
membangunkannya dari sikap dogmatism. Setelah membaca karya-karya Hume, Kant
kemudian tidak lagi menerima prinsip-prinsip rasionalisme dan aksioma-aksioma
ontology, bahkan pemikiran (termasuk etika) nya dibangun dari kritik atas dogmatism.
Sementara pada Leibnis (sebenarnya juga Wolf), beberapa istilah teknis Kant
berasal dari mereka seperti istilah apriori dan a posterirori.
Leibniz-Wolf dan Hume merupakan wakil dari dua aliran pemikiran
filosofis yang kuat melanda Eropa pada masa Pencerahan. Leibniz tampil sebagai
tokoh penting dari aliran rasionalisme, sedangkan Hume muncul sebagai wakil
dari aliran empirisme.
Di sini jelas, bahwa epistemology ala Leibniz bertentangan dengan
epistemologi Hume. Leibniz berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah
rasionya saja, dan bukan pengalaman. Dari sumber sejati inilah bisa diturunkan
kebenaran yang umum dan mutlak. Sedangkan Hume mengajarkan bahwa pengalamanlah
sumber pengetahuan itu. Pengetahuan rasional mengenal sesuatu terjadi setelah
sesuatu itu dialami terlebih dahulu.
C. Epistemologi Kant, Membangun dari Bawah
Seperti disampaikan di atas, bahwa sebelum Kant memang muncul
perdebatan soal “objektivitas pengetahuan” yaitu oleh pemikiran rasionalisme di
Jerman sebagaimana dikembangkan Leibniz-Wolf dengan empirisme Inggris yang
kemudian bermuara pada pemikiran Hume. Filsafat Kant berusaha mengatasi dua
aliran tersebut dengan menunjukkan unsur-unsur mana dalam pikiran manusia yang
berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam akal. Kant
menyebut perdebatan itu dengan antinomy, seakan kedua belah pihak merasa
benar sendiri, sehingga tidak sempat member peluang untuk munculnya alternative
ketiga yang barangkali lebih menyejukkan dan konstruktif.
Mendapatkan inspirasi dari “Copernican Revolution”, Kant merubah
wajah filsafat secara radikal, di mana ia memberikan tempat sentral pada
manusia sebagai subjek berpikir. Maka dalam filsafatnya, Kant tidak mulai
dengan penyelidikan atas benda-benda sebagai objek, melainkan menyelidiki
struktur-struktur subjek yang memungkinkan mengetahui benda-benda sebagai
objek. Lahirnya pengetahuan karena manusia dengan akalnya aktif mengkonstruksi
gejala-gejala yang dapat ia tangkap. Kant mengatakan: Akal tidak boleh
bertindak seperti seorang mahasiswa yang cuma puas dengan mendengarkan
keterangan-keterangan yang telah dipilihkan oleh dosennya, tapi hendaknya ia
bertindak seperti hakim yang bertugas menyelidiki perkara dan memaksa para
saksi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ia sendiri telah rumuskan dan
persiapkan sebelumnya.
Upaya Kant ini dikenal dengan kritisisme atau filsafat kritis,
suatu nama yang diberikannya sendiri. Kritisisme adalah filsafat yang memulai
perjalanannya dengan terlebih dulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya.
Langkah Kant ini dimulai dengan kritik atas rasio murni, lalu kritik atas rasio
praktis, dan terakhir atas daya pertimbangan.
D.
Kritik atas Rasio Murni
Pada taraf indra, ia berpendapat bahwa dalam pengetahuan indrawi
selalu ada dua bentuk apriori yaitu ruang dan waktu. Pada taraf akal budi, Kant
membedakan akal budi dengan rasio. Tugas akal budi ialah memikirkan suatu hal
atau data-data yang ditangkap oleh indrawi. Pengenalan akal budi juga merupakan
sintesis antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data indrawi dan
bentuk adalah apriori, bentuk apriori ini dinamakan Kant sebagai kategori. Pada
taraf rasio, kant menyatakan bahwa tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari
keputusan-keputusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan argumentasi-argumentasi.
Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi itu dengan dipimpin oleh
tiga ide, yaitu Allah, jiwa dan dunia. Apa yang dimaksud ide menurut Kant ialah
suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam gejala psikis (jiwa),
gejala jasmani (dunia) dan gejala yang ada (Allah).
Akal murni adalah akal yang bekerja secara logis. Menurut Kant,
pengetahuan yang mutlak benarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan
datang melalui indra.
Menurut Kant, jiwa kita merupakan organ yang aktif, dimaksudkan
sebagai jiwa yang inheren, secara aktif mengkoordinasi sensasi-sensasi yang
masuk dengan idea-idea kita. Karena dikoordinasi itulah maka pengalaman yang
masuk, yang tadinya kacau, menjadi tersusun teratur.
Apa makna kata sensasi dan persepsi menurut Kant? Sensasi ialah
pengindraan, sensasi itu hanyalah suatu keadaan jiwa menanggapi rangsangan
(stimulus). Sensasai itu masuk melalui alat indra, melalui indra itu lalu masuk
ke otak, lalu objek itu diperhatikan,kemudian disadari. Akan tetapi, bagaimana
caranya? Ternyata, sensasi-sensasi itu masuk ke otak melalui saluran-saluran
tertentu. Saluran itu adalah hukum-hukum . Karena hukum-hukum itulah maka tidak
semua stimulus yang menerpa alat indra dapat masuk ke otak. Penangkapan itu
diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Contohnya, Jam berdetak, Anda tidak
mendengarnya, akan tetapi, detak yang sama bahkan lebih rendah, akan didengar
bila kita bertujuan ingin mendengarkannya.
Kemudian Jiwa (mind) yang memberi arti terhadap stimulus itu
mengadakan seleksi dengan menggunakan dua cara yang amat sederhana, Menurut
Kant, Pesan-pesan (dari Stimulus) disusun sesuai dengan ruang (tempat)
datangnya sensasi, dan waktu terjadinya itu. Mind itulah yang mengerjakan
sesuatu itu, yang menempatkan sensasi dalam ruang dan waktu, menyifatinya
dengan ini atau itu. Ruang dan waktu bukanlah sesuatu yang dipahami, ruang dan
waktu itu adalah alat persepsi. Oleh karena itu ruang dan waktu itu apriori.
Menurut Kant, pengetahuan yang dihasilkan aliran rasionalisme
tercermin dalam putusan yang bersifat analitik-Apriori. Putusan ini memang
mengandung suatu kepastian dan berlaku umum. Sedangkan pengetahuan yang
dihasilkan aliran empirisme tercermin dalam putusan Sintetik-Aposteriori . Yang
sifatnya tidak tetap. Kant memadukan keduanya dalam suatu bentuk putusan yang
Sintetik-Apriori. Di dalam putusan ini, akal budi dan pengalaman indrawi
dibutuhkan serentak. Cara kita untuk mendapatkan putusan Sintetik-Apriori,
menurut Kant, syarat rasio untuk dapat mencapai tahap rasionalitasnya yakni
melewati tiga tahap. Yaitu:
1.
Tahap Inderawi, disini peranan subjek lebih
menonjol, tapi harus ada bentuk rasio murni yaitu ruang dan waktu yang dapat
diterapkan pada pengalaman. Hasil pencerapan indrawi inderawi yang dikaitkan
dengan bentuk ruang dan waktu ini merupakan fenomena konkret. Namun pengetahuan
yang diperoleh dalam bidang inderawi ini selalu berubah-ubah tergantung pada
subjek yang mengalami, dan situasi yang melingkupinya.
2. Akal Budi; apa yang telah diperoleh melalui
bidang inderawi tersebut untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat
objektif-universal haruslah dituangkan ke dalam bidang akal.
3. Tahap Rasional; pengetahuan
yang telah diperoleh dalam bidang akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan
Sintetik-Apriori, setelah dikaitkan dengan tiga macam ide, yaitu Allah (ide
teologis) Jiwa (ide psikologis) dan dunia (ide kosmologis). Namun ketiga macam
ide itu sendiri tidak mungkin dapat dicapai oleh akal pikiran manusia. Ketiga
ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menciptakan kesatuan pengetahuan.
E. Kritik Atas Rasio Praktis
Apabila kritik atas rasio murni memberikan penjelasan tentang
syarat-syarat umum dan mutlak bagi pengetahuan manusia, maka dalam “kritik atas
rasio praktis” yang dipersoalkan adalah syarat-syarat umum dan mutlak bagi
perbuatan susila. Kant coba memperlihatkan bahwa syarat-syarat umum yang berupa
bentuk (form) perbuatan dalam kesadaran itu tampil dalam perintah (imperative).
“Kesadaran” demikian ini disebut dengan “otonomi rasio praktis” (yang
dilawankan dengan heteronomi). Perintah tersebut dapat tampil dalam kesadaran
dengan dua cara, subyektif dan obyektif. Maxime (aturan pokkok) adalah pedoman
subyektif bagi perbuatan orang perseorang (individu), sedangkan imperative
(perintah) merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk
melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum dan niscaya, meskipun ia dapat
berlaku dengan bersyarat (hypothetical) atau dapat juga tanpa syarat
(categorical). Imperative kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia
merupakan kelayakan formal (sollen). Menurut Kant, perbuatan susila adalah
perbuatan yang bersumber pada kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan
terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung). Sikap inilah penggerak
sesungguhnya perbuatan manusia.
Kant, pada akhirnya ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya
kesadaran susila mengandung adanya praanggapa dasar. Praanggapan dasar ini oleh
Kant disebut “postulat rasio praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas
jiwa dan adanya Tuhan. Hukum susila merupakan tatanan kebebasan, karena hanya
dengan mengikuti hukum susila orang menghormati otonomi kepribadian manusia.
Kebakaan jiwa merupakan pahala yang niscaya diperoleh bagi perbuatan susila,
karena dengan keabadian jiwa bertemulah ‘kewajiban’ dengan kebahagiaan, yang dalam
kehidupan di dunia bisa saling bertentangan. Pada gilirannya, keabadian jiwa
dapat memperoleh jaminan hanya dengan adanya satu pribadi, yaitu Tuhan, namun,
sekali lagi, harus dipahamai bahwa postulat itu tidak mempunyai pengetahuan
teoritis. Menerima ketiga postulat tersebut Kant menyebutnya kepercayaan
(“Glube”).
Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor
lahirnya apa yang disebut dengan “argument moral” tentang adanya Tuhan,
sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni,
dengan Tuhan, rasio praktis ‘bekerja’ melahirkan perbuatan susila.
F. Kritik Atas Daya Pertimbangan
Konsekuensi dari “kritik atas rasio murni” dan “kritik atas rasio
praktis” menimbulkan adanya dua kawasan tersendiri, yaitu kawasan keperluan
mutlak di bidang alam dan kawasan kebebasan di bidang tingkah laku manusia.
Adanya dua kawasan itu, tidak berarti bertentangan atau dalam tingkatan. Kritik
atas Daya Pertimbangan (Kritik der Urteilskraft), dimaksudkan oleh Kant, adalah
mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal ini terjadi dengan menggunakan
konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif.
Kalau finalitas bersifat subjektik, manusia mengarahkan objek pad diri manusia
sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan
finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari
benda-benda alam.
G. Idealisme Transendental
Tidak mudah memahami Kant, terutama ketika sampai pada teorinya:
realisme empirikal (empirical realism) dan idealism transcendental
(transcendental idealism), apalagi jika mencoba mempertemukan bagian-bagian
dari teorinya itu. Istilah “transcendental” berhadapan dengan istilah
“empiris”, di mana keduanya sama-sama merupakan term epistemologi, namun sudah
tentu mengandung maksud yang berbeda, yang pertama berarti independen dari
pengalaman (dalam arti transenden), sedang yang terakhir disebut berarti
imanen dalam pengalaman. Begitu juga “realisme” berlawanan dengan “idealisme”,
adalah dua istilah ontologis yang masing-masing bermakna: lepas dari eksistensi
subyek dan bergantung pada eksistensi subyek. Teori Kant ini mengingatkan kita
kepada filsuf Berkeley dan Descartes. Berkeley sudah tentu seorang empiris,
tetapi ia sekaligus muncul sebagai seorang idealis. Sementara Decartes bisa
disebut seorang realis karena ia percaya bahwa eksistensi obyek itu, secara
umum, independen dari kita, tetapi ia juga memahami bahwa kita hanya mengetahui
esensinya melalui idea bawaan (innate ideas) secara “clear and distinct”, bukan
melalui pengalaman. Inilah yang kemudian membuat Descartes sebagai seorang
“realis transcendental”.
H. Dialektika Transendental
Dalam analitika transcendental, Kant menunjukkan kondisi-kondisi
pengetahun yang pasti, yaitu kategori yang bisa diterapkan terhadap apa yang
diberikan dalam ruang dan waktu. Dalam dialektika transcendental, Kant ingin
menunjukkan hakikat akal (reason) dengan menggunakan kategori-kategori di luar
apa yang diberikan dalam ruang dan waktu. Dengan cara ini, ia mencoba menjawab
persoalan metafisik.
Kant membedakan antara understanding dan reason.
Yang pertama membuat penilaian tentang apa yang diberikan dalam ruang dan waktu
melalui kategori.
Dalam paralogisme akal murni, Kant menemukan klaim psikologi
rasional. Wolf dengan mengikuti garis Cartesian, mengklaim bahwa the
thinking I’adalah identik dengan substansi. Kant menolaknya dengan dalih
karena kesatuan kesadaran diri yang mengondisikan semua pengalaman perseptual
tidak membuktikan kesatuan noumenal mutlak atau immortalitas dari diri. Kant
mengakui ada ego transcendental sebagai kondisi pasti dari pengalaman, tetapi
tidak dapat memegangi eksistensi ego transendental sebagai suatu substansi. Pengetahuan
ilmiah dibatasi oleh dunia fenomena. Ego transcendental bukan milik dunia itu,
melainkan banyak konsep yang membatasi.
Dalam ideals of pure reason, Kant menolak bukti-bukti
teoretik-rasional tenang eksistensi Tuhan, seperti yang diberikan oleh argumentasi
ontologism, dan kosmologis, misalnya. Dalam argument ontologism, pikiran
memiliki konsep tentang suatu Wujud yang meliputi realitas itu sendiri, yaitu
Tuhan. Argument kosmologis berbunyi: pertama, bahwa jika ada sesuatu
yang contingent (tidak tentu), maka pasti ada suatu Wujud yang pasti dan
tak dikondisikan sebagai sebabnya; kedua, karena pengalaman tidak member
hakikat suatu Wujud, kita harus bersandar pad konsep a priori tentang Wujud
tersebut. Kant menolak bukti-bukti logis tersebut karena ada loncatan
kesimpulan. Tuhan ada tetapi ia terlalu besar bagi akal kita.
Kesimpulan
Filsafat Immanuel kant yakni kritisisme adalah penggabungan antara
aliran filsafat sebelumnya yakni Rasionalisme yang dipelopori oleh Rene
Descartes dan empirisme yang dipelopori oleh David Hume. Kant mempunyai tiga
karya yang sangat penting yakni kritik atas rasio murni, kritik atas rasio
praktis, kritik atas pertimbangan. Ketiga karyanya inilah yang sangat
mempengaruhi pemikiran filosof sesudahnya, yang mau tak mau menggunakan
pemikiran kant. Karena pemikiran kritisisme mengandung patokan-patokan berfikir
yang rasional dan empiris.
Referensi
Burhanuddin, Afid. 2013. Filsafat Immanuel Kant. Di
peroleh dari
hhtp://aripburhanudin.wordpress.com
Wahyudi.____Kritisisme
Immanuel Kant. Di peroleh dari
hhtp://docs.google.com
Comments
Post a Comment