Modernitas
menuju Filsafat Kontemporer
Filsafat adalah dialog. Setiap pembahasan tentang pemikiran
filsuf-filsuf atau aliran filsafat tertentu di masa silam harus selalu
memperhatikan relasinya dengan pemikiran filsuf lain sezaman atau zaman
sebelumnya. Sebeb setiap filsuf membangun pemikiran filosifisnya dalam dialog
dengan para pemikir lainnya. Itulah
salah satu karakter dasar filsafat yang membedakannya dari disiplin ilmu
pengetahuan lainnya. Seorang ahli ilmu pengetahuan alam kontemporer misalnya
tidak perlu mengetahui secara baik
sejarah ilmu pengetahuan alam atau apa yang
pernah dilakukan Isaac Newton, pendiri ilmu pengetahuan alam dari abad
ke-18.
Ketidaktahuan ini tidak mengurangi kompetensinya sebagai
ahli ilmu alam. Dalam filsafat, seseorang tidak mungkin disebut filsuf jika
tidak mengetahui dengan baik pemikiran
para filsuf besar seperti Platon, Aristoteles, Kant, dan lain-lain. Karena itu
sejarah filsafat merupakan sesuatu yang substansial dalam studi filsafat. Dalam
studi sejarah filsafat biasanya dikenal empat tahapan periodisasi.
1)
Filsafat Yunani dan Romawi Kuno
Bermula dari masa
lahirnya filsafat pada abad ke-6 SM hingga tahun 529 M. Pada tahun ini Kaiser
Justianus dari Byzantium yang dekat dengan agama Kristen menutup semua sekolah
filsafat kafir di Athena.
2)
Filsafat Abad Pertengahan
Meliputi pemikiran
Boëthius (abad ke-6) sampai dengan Nicolaus Cusanus (abad ke-15), dengan
puncaknya abad ke-13 dan permulaan abad ke-14.
3)
Filsafat moderen
Diawali oleh pemikiran
para filsuf Renaissance tetapi mekar secara meyakinkan dengan filsafat Renẻ Descartes (1596-1650) dan
berakhir dengan pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900).
4)
Filsafat kontemporer
Berawal dari periode setelah abad ke-19 hingga
sekarang.
Filsafat abad ke-20 adalah puncak 2500 tahun sejarah
filsafat, ditandai dengan diferensiasi disiplin ilmu dan pendidikan filsafat
serta proses radikalisasi kritik rasionalitas pada segala bidang. Radikalisasi
kritik akal budi bergerak dari persoala ketaksadaran menuju eksistensi manusia
dan bahasa hingga masyarakat dan ilmu pengetahuan. Proses radikalisasi didorong
oleh sejumlam bencana kemanusiaan yang menimpa manusia awal abad kedua puluh:
dua perang dunia, holocaust, Hirosima. Dalam konteks ini modernitas tidak hanya
dibangun di atas singgasana prestasi inovatif teknologi, sosial dan ilmu
pengetahuan, melainkan juga ditandai berbagai fenomen destruktif.
Jadi filsafat abad ke-20 dapat juga dibaca sebagai kritik radikal
atas modernitas. Karena itu pembicaraan tentang filsafat abad ke-20 atau kontemporer
mengandaikan pemahaman tentang modernitas.
Sumber
Bdk. K. Bertens. 2014. Sejarah Filsafat Kontemporer. Jerman dan
Inggris, Jilid I, Jakarta:
Kompas Gramedia,
,
Comments
Post a Comment