Skip to main content

Pemikiran Fiere Terhadap Peranan Pendidik-Terdidik

Pemikiran Fiere Terhadap Peranan Pendidik-Terdidik
Hubungan pendidik-terdidik adalah hubungan subjek-subjek, bukan subjek-objek. Karena Fiere menolak peran guru krismatik yang menyediakan kebijaksanaan kepada murid yang menginginkannya. Bagi Freire pendidik bukanlah penguasa si terdidik, melalui segala otoritasnya mengatur segala bentuk pengetahuan masuk ke dalam kesadaran si terdidik. Pendidikan adalah rekan belajar si terdidi, membangun pengetahuan bersama melalui dialog, bersama menamai dan merubah dunia.
Peranan pendidik adalah menyingkap kebenaran tersembunyi: sebuah praktik belajar dan mengajar yan besifat geosrologis. Peranan pendidik adalah menantang rasa ingin tahu si terididik yang masih bersifat naif dengan tujuan agar metrka berdua berbagi kritikalitas. Inilah bagaana praktik pendidikan dapat mengakui dirinya sebagai penyingkap kebenaran-kebenaran tersembunyi (Freire, 1997: 97).
Pikiran fundamental Freire terkai dengan peranan pedidik dapat dikemukakan, sebagai berikut:
a.       Mempelajari objektif
Seorang pendidik tidak menghampiri orang-orang dalam rangaka membawa pesan "keselamatan" kepada mereka, tetapi dalam mengtahui situasi objektif yang dihadapi kefua pihak dan kesadaran mereka akan situasi tersebut melalui dialog bersama. Berbagai tahapan bersamanya mereka berada (Freire & Horton, 1990: 65). Tugas pendidik adalah mempelajari objek dari realitas sebagai pencari, pembelajar yang mengharapkan dan menciptakan perubahan.
b.      Menghargai manusia
Pendidik harus menghargai terdidik, karena ia adalah manusia, subjek (Freire & Horton, 1990: 60, 64-65, 226). Ia menghargai mereka dan menghargai kekeliruan-kekeliruan mereka, kesalahan-kesalaham mereka, dan pengetahuan mereka, tidak mengatakan "bodoh' pada si terdidik. Singkatnya, seorang pendidik harus menghargai otonom dan martabat si terdidik sebagai manusia. Mereka sudah memiliki pengetahuan ketika meteka datang ke sekolah. Karena menghargai si terdidik, pendidik memulai pendidikan dari tahapan persepsi si tetdidik sendiri, coletehan-coletehan mereka mengenai realitas, menuju penyingkapan dunia dengan cara peningkatan persepsi ini ke tahapan kesadaran. Dalam tahapan kesadaran, si terdidik dapat melihat alasan-alasan yang mendasark keberadaan realitas, melalui hubungan-hubungan dengan totalitas (Freire, 1970: 47).
c.       Menstranformasi sosial
Freire tidak menganjurkan dibubarkannya sekolah karemna mimpinya adalah transfoasi sosial. Juga ia tidak menganjurkan guru-guru untuk berhenti mengajar dan terlubat dalam gerakan-gerakan sosial demi transformasi masyarakat (Freire and Shor, 1987: 27, 34). Ada baiknya guru untul tetap di sekolah, mengikuti skema, jadwal, daftar buku, menilai tugas siswa, seraya berusaha membuka diri terhadap dinamisme yang lebih luas, mobilitas yang lebih aktif yang ditemukan dalam gerakan-gerakan sosial. Ada sesuatu yang sangat penting di luar pendidikan formal yang sedang diciptakan oleh  masyarakat. Ini bagi guru-guru akan merupakan pengalamn membuka jendela-jendela baru.
d.      Mempunyai otoritas
Guru adalah siswa dan siswa adalah guru, guru atau pendidik memiliki otoritas, tetapi tidak otoritarian (Freire, 1967: 64,74; Freire & Horton, 1990: 62). Pada satu sisi, guru adalah guru, bukan siswa. Siwa adalah siswa, bukan guru. Dua posisi ini berbeda, tetapi tidak antagonistic dan tidak terhalang oleh tembok eksklusif. Otiritas guru diperlukan secara absolut bagi perkembangan kebebasan para siswa. Atau dengan kata lain otoritas yang dimaksud tidak berkaitan dengan pemaksaan atau kebenasan.
e.       Keteladanan-otoritas guru
Pendidik demokratis akan menjadi sebuah model jika ia percaya diri di depan para siswanya, terbuka terhadap para siswanya, dan adil dalam menangani permasalahan siswanya. Otoritas diakui karena ia tidak menvemooh kebenasan. Karena ia menghargai kebebasan, ia menjadi dihargai. Penddkk demokratis tidak diperkenankan untuk mebuat otoritasnya mengurang, karena hal ini akan memperburuk kebebasan siswa. Perilakunya tidak boleh kontradiktif dalam kaitannya dengan otoritasnya dan dala m kaitannya dengan kebebasan siswa: ia tidak boleh otoritarianisme juga tidak permisif. Kekuatan pendidik demokratis terletak dalam keherensi keteladananny; yakni apa yang membuat otoritasnya terjaga. Seorang pendidik perkataannya tidak sesuai tindakannya adalah pendidik yang tidak bertanggung jawab, dan tidak hanya tifa efektif tetapi juga merusak.
f.        Mengajar terpadu dengan refleksinya
Praktik mengajar harus terpadu dengan refleksi kritisnya (Freire, 1970: 51-53). Ini sesuai dengan epistimologinya, bahwa kebenaran mengalami perkembangan. Melalui praksis, oraktik mengajar yang berdialektika dengan refleksinya, pengetahuan dikonfirmasu, dimodifikasi atau di perkuat. Tanpa praksis, pengetahuan menjadi benda mati atau benda yang disucikan dan idle knowledge, tidak berkaitan dengan realitas yang harus ditansfoasi.
g.      Mengajar, menciptakan kemungkunan belajar
Mengajar bukamlah mentransfer pengetahuan (Freire, 1974: 93, 119), tetapi adalah menciptakan kemungkinan-kemungkinan untuk produksi atau konstruksi pengetaguan. Ini esensialnya adanya bagi pendidik kritis (Freire, 1967: 9-12). Pendidik kritis tertuju pada transformasi atau perubahan, bukan pewarisan sosial belaka. Pewarisan soasial mengassikan penfidik adalah subjek yang memiliki pengetahuan, dan si pebelajar adalah objek yang fitransfer pengetahuan oleh pendidik, bukan pemilik pengetahuan. Disini si pembelajra menjadi objek pendidik yang keliru yang bertanggung jawab untuk repriduksi objek-objek lainnya. Mengajar juga bukan peristiwa subjek-kreator memberi bentuk, pola atau jiwa kepada tubuh lugu dan tak mampu membuat putusan (Horton, and Friare, 1990: 90).
h.      Mengajar, ceramah dan duskusi
Pendidik pembebasan dapat dibedakan dengan pendidikan banking system dalam penggunaan metode ceramah dan diskusinya (Freire and Shor, 1987: 42). Ceramah dan dislusi tidak tertuju semata-mata pada penguasaan pengetahuan yang ada oleh para siswa, tetapi pada penciptaan pengetahuan atau transformasi. Ceramah dan diskusinha bukan sekedar sebagai sarana bagi penguasaan deskripsi-deskripsinya yang baru dan juga dalam rangka menyikap reason for being atau raison d'etre dari objek tersebut, dalam rangka menyikap realitas yang tersembunyi disembunyikan oleh ideologi dominan.
Ceramah dan diskusinya mereorientasikan para siswa terhadap masyarakat, menghidupkan pemikiran kritis para siswa. Ceramah adalah sebagai sebuah kodifikasi verbal tentang realitas, bukan sebagai transfet pengetahuan secara oral, sebuah pencerahan hadap-masalah secara kritis dan menantang pemikiran siswa ketimbang sebagai a delivery system dari informasi yang pra-kemas yang disampaikan secara verbal di kelas.
i.        Mengajar mengembangkan berpikir kritis
Mengajar tidak boleh direduksi menjadi upaya agar individu mengalami kontak dangkal dan eskternal dengan objek atau isi, tetapi hendaknya ditingkatkan kea rah produksi kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya belajar secara kritis. Kondisi ini mengimplikasikan dan menutut mengajar dan belajar terjadi secara serempak dala konteks keketatan rasa ingin tahu, yang diiringi rasa kecemasan, untuk mengeksplorasi batas-batas kreativitas, teguh dan pencarian, dan brani rendah hati dalam bertualang. Dalam kondisi yang demikian ini, mereka yang terlibat dalam belajar kritismengetahui guru mereka berkelanjutan pemerolehan pengetahuan baru dan pengetahuan baru tidak dapat di transfer kepada mereka. 
j.        Menghargai pengetahuan siswa
Dalam berpikir, si pebelajar mengalami rasa ingintahu yang lugu, yang pada giliran berikutnya menghasilkan suatu jenis pengetahuan (meskipun tidak keetat seperti metodologis) yang menjadi karakter pengetahuan common sense (Freire, 1967: 40-44). Ini adalah pengetahuan yang disarikan dari pengalaman murni. Berpikir secara tepat, dari sudut pandang guru, mengimplikasikan penghargaan terhadap pengetahuan “common sense” ketika ia bergerak maju ke tingkat yang lebih tinggi. Hal ini juga mengimplikasikan penghargaan dan pemberian stimulus terhadap kapasitas kreatif si pebelajar. Hal ini selanjutnya mengimplementasikan suatu komitmen para pendidik dan guru untuk menghargai kesadaran kritis si pebelajar, dengan pengetahuan bahwa kesadaran lugu si pelajart idak akan teratasi secara otomatis.
Berpikir secara tepat meletakkan tanggug jawab pada guru, lebih tepatnya pada sekolah, untuk tidak hanya menghargai jenis-jenis pengetahuan yang secara khusus berada dikalangan kelas sosial orang kebanyakan- pengetahuan yang terkontruksi secara sosial dalam praksis komunitarian, tetapi juga mendiskusikan dengan para siswa logika pengetahuan jenis ini dan kaitannya dengan isi pelajaran mereka.
k.      Identitas budaya
Terdapat sebuah pertanyaan lainnya yang tidak dapat diabaikan, yaitu pertanyaan tentang identitas budaya dalam kaitannya dengan individu dan kelas sosial dari para pembelajar (Freire, 1997: 62). Ini adalah sebuah hal lagi yang harus diasumsikan oleh mereka yang berpartisipasi dalam dunia pendidikan. Mengargai identitas budaya ini secara absolut bersifat fundamental. Hal ini berkaitan secara langsung dengan pengasumsian siapa kami, yang tidak dapat dilakukan atau ditegakkan oleh pendidik dengan visi teknis, objektif, dan gramatikal. Pendidikan yang sepenuhnya pragmatik yang implisit atau secara terbuka mengekspresikan otoritarianisme elitis, tidak sejalan dengan proses belajar dan praktik untuk proses menjadi “Subjek”.

Sumber
Kesuma, Teguh & Teguh Ibrahim. 2016. Struktur Fundamental Pendagogik: Membedah
            Pemikiran Paulo Freire. Bandung: PT Refika Aditama.

Comments

Popular posts from this blog

Hubungan Epistemologi, Metodologi, Dan Metode Ilmiah

Hubungan Epistemologi, Metodologi, Dan Metode Ilmiah Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melainkan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis (Senn, 2002). Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode merupakan prosedur ...

Implementasi Dalam Penelitian

Implementasi Dalam Penelitian Pelaksanaan penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif, sebenarnya merupakan langkah-langkah sistematis yang menjamin diperoleh pengetahuan yang mempunyai karakteristik rasional dan empiris. Secara filosofis kedua pendekatan tersebut mempunyai landasan yang berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang didasarkan pada filsafat positivistik. Filsafat positivistik berpandangan bahwa gejala alam dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Proses penelitian dimulai dari proses yang bersifat deduktif, artinya ketika menghadapi masalah langkah pertama yang dilakukan adalah mencari jawaban secara rasional teoretis melalui kajian pustaka untuk penyusunan kerangka berpikir. Bagi penelitian yang memerlukan hipotesis, kerangka berpikir digunakan sebagai dasar untuk menyusun hipotesis. Langkah berikutnya adalah mengumpulkan dan menganalisis data. Tujuan utama langkah ini adalah un...

Perbedaan Ilmu Dengan Pengetahuan Mistik

Perbedaan Ilmu Dengan Pengetahuan Mistik A.     Ilmu 1.     Hakikat ilmu Ilmu bersifat rasional Contoh: Air selalu menempati ruang 2.     Struktur ilmu Metode ilmiah Contoh: Makhluk hidup yang ada didunia ini selalu berkembang dan tumbuh 3.     Epistimologi ilmu Epistimologi yang mengkaji pengetahuan manusia. Pembagian epistimologi yang meliputi epistimologi umum (memunculkan pertanyaan  ada apa? ), epistimologi khusus (memunculkan pengetahuan yang diproses dan dapat di pertanggung jawabkan, metodologi (mengkaji langkah-langkah praktis untuk memperoleh pengetahuan yang benar).  Pada mulanya sumber pengetahuan adalah akal. Adapun pengembangan yang lain menyatakan pengalaman, nalar, intuisi, keyakinan, otoritas dan wahyu merupakan sumber pengetahuan. Sumber pengetahuan merupakan sumber dalam rangka mencari kebenaran. Dimana teori kebenaran terdiri atas teori korespondensi, teori koherensi, teori...