Skip to main content

Sejarah Filsafat Cina


Sejarah Filsafat Cina

Filsafat Cina dapat dikatakan hidup dalam kebudayaan Cina. Hal ini disebabkan karena pemikiran filsafat selalu diberikan dalam setiap jenjang pendidikan dasar sampai jenjang pendidikan tinggi. Menurut rakyat Cina, fungsi filsafat dalam kehidupan manusia yaitu untuk mempertinggi tingkat rohani. Artinya, rohani manusia diharapkan dapat menjulang tinggi untuk mencapai nilai-nilai yang lebih tinggi dari pada nilai-nilai moral. Filsafat Cina erat hubnganya dengan keadaan alam, dan masyarakat.
Jika dibandingkan dengan filsafat Barat dan India, filsafat Cina lebih antroposentris dan pragmatis. Antroposentris karena memang dalam sejarah Cina fokusnya masalah manusia, pragmatis dalam arti bagaimana manusia itu ada keseimbangan antara dunia dan surga dapat tercapai. Filsafat Cina dibagi dalam 4 (empat) priode, yakni zaman kuno (600-200 SM), zaman pembaharuan (200SM-1000 SM), zaman Neo- Konfusianisme (1000-1900 M) dan zaman modern (1900- sekarang).
1.      Zaman Kuno
Menurut tradisi, periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat, seratus aliran yang semuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang dipentingkan secara umum, misalnya “tao” (jalan), “te” (keutamaan atau seni hidup), “yen” (perikemanusiaan), “i” (keadilan), “t’ien” (surga) dan “yin-yang” (harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik adalah: Konfusianisme
a.       Konfusianisme
Kong Hu Cu merupakan seorang filosof besar Cina. Dialah orang pertama pengembang sistem yang memadukan alam fikiran dan kepercayaan orang Cina yang paling besar filosofinya menyangkut moralitas orang perorang dan konsepsi suatu pemerintahan tentang cara-cara melayani rakyat dan memerintahnya lewat tingkah laku teladan yang sekarang telah menyerap dalam kehidupan dan kebudayaan orang Cina selama lebih dari dua ribu tahun. Dari pengaruh pemikiran inilah Confusianisme banyak menghasilkan para intelektual di Cina, dan pengaruh intelektualnya ini berpengaruh terhadap sebagian penduduk di dunia.
Confusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, “guru dari suku Kung”) hidup antara 551 dan 497 SM di daerah Lu di Shantung. Ia mengajarkan bahwa Tao (“jalan” sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah “jalan manusia”. Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan (“yen”), yang merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda. Dalam bahasa Mandarin aliran ini disebut 儒家 Rujia. Rujia memang sering diartikan sebagai filsafat Khonghucu. Sebenarnya Rujia berarti filsafat cendikiawan, Ru sendiri berarti cendikiawan atau sarjana.
Pada usia muda, yakni 17 tahun, Confusius diangkat menjadi pengawas kerajaan, sebagai pemilik ladang gandum umum dan lumbung pangeran, kemudian menjadi Kepala Peternakan. Ia seorang yang suka belajar. Pada usia 22 tahun ia mulai mengajar. Setahun kemudian ia ditinggalkan ibunya. Menurut adat, ia harus mengundurkan diri dari keramaian untuk berduka cita selama tiga tahun. Keadaan kacau pada masa itu menyebabkan ia tidak taat pada adat. Sikap Confusius sangat dihormati, terutama oleh murid-muridnya yang setia. Selama berduka cita, yaitu selama tiga tahun itulah ia mendalami kesusastraan, sejarah, dan adat istiadat dari zaman Wen sampai Mu yang tersimpan dalam perpustakaan kerajaan.
Confusius yakin bahwa untuk mengamankan keadaan, maka harus kembali pada jalan yang telah ditempuh oleh yao dan Shun, yaitu dengan jalan berbakti dan setia. Ia belajar lagi dari semua buku-buku yang ada tentang agama, adat, sastra, sejarah, musik, dan lain-lain. Kemudian semuanya itu digubah dan disadur sehingga berbentuk pedoman hidup bangsa Cina. Setelah habis masa duka citanya ia mengunjungi loyang yang dibangun oleh Pangeran Chou. Ia mulai lagi mengajarkan pada murid-muridnya tentang sejarah, kesusastraan, perihal upacara, musik syair, dan terus mencatat segala hal yang berarti dan diketahuinya dalam tulisan yang berjudul “The Books of History (Shang Shu), The pring and Autum Annals, The Books of Rites, dan The Book of Song.
b.      Taoisme
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam” lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”).
Taoisme di sini adalah 道家 Daojia (=filsafat Jalan/Tao). Mula-mula oleh Sima Tan aliran ini disebut 道德家 Daodejia (filsafat jalan dan kebajikan), belakangan disebut Daojia. Harap dibedakan pengertiannya dengan 道教 Daojiao (agama Tao). Umumnya keduanya sama2 ditulis dalam bahasa Inggris sebagai Taoism. Daojia juga harus dibedakan dengan 道學 Daoxue, yang merupakan aliran kebangkitan Rujia baru yang muncul ketika Dinasti Song. Oleh orang Barat Daoxue disebut Neo-Confucianism.
Sebagai suatu ajaran filosofis, Taoisme terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei. Di dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas.
Sejak Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang melakukan penelitian mendalam di bidang ini. Memang, ada keterkaitan erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao sendiri dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai agama. Buku paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudul Classic of Great Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan tulisan tangan langsung dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri seringkali dianggap sebagai, dewa. Ia punya beberapa julukan, seperti, Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor, dan yang memiliki status sebagai Dewa (The Divine) itu sendiri.
c.       Yin-Yang
“Yin” dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. “Yin” itu bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk yang dingin. “Yang” itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat Yang tertentu.
d.      Moisme
Aliran Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis, langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang tidak berguna, dan oleh karenanya dianggap jelek. Etika Mo Tse mengenal prinsip yang antara lain dalam agama kristen disebut kaidah emas: setiap orang harus memperlakukan negara-negara asing seperti tanah air sendiri, keluaga lain seperti keluarga sendiri, orang lain seperti dirinya sendiri. Perintah ini cukup untuk mencapai kebahagiaan dan kemakmuran umum.
Sekolah Mo berakar dari para pendekar yang kehilangan posisi/jabatannya di kerajaan dan kemudian menjadi pengembara (游侠/ yóuxiá). Adapun perbedaan pendapat anatara konfusianis dan mohis adalah sebagai berikut: Para Konfusianis mementingkan relasi yang tepat (Lǐ, tanpa memikirkan keberuntungan. Dari segi moral atau pendirian, para Konfusianis mengutamakan kebenaran dan kemurnian, tanpa menghitung keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara khusus keberuntungan (Lì) dan pencapaian (Kung). Dari bab ke-35 Mo Tzŭ mengatakan: “penilaian standar harus dilakukan. Tanpa standar ini, pembedaan antara betul salah, keberuntungan (li) dan keburukan, tidak bisa dilakukan. Maka setiap penilaian harus diverifikas tentang dasarnya (adakah ia berdasarkan pola tindakan raja-raja kuno yang bijaksana), pembuktiannya (adakah ia terbukti penting lewat keberuntungan bagi rakyat jelata), dan aplikasinya (apakah memberi keberuntungan pada negara dan rakyat”.
Dengan demikian, tolok ukur kebenaran sebuah prinsip menurut Mo Tzŭ adalah seberapa besar keberuntungan yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala sesuatu harus berguna, dan semua prinsip harus bisa diaplikasikan supaya menyumbang sesuatu nilai secara mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa diajarkan secara efektif kepada manusia lain untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio belaka. Tetapi pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan dengan idealisme Konfusianis, yang mengutamakan pembentukan moralitas yang mendukung tindakan seseorang, supaya bertindak mengikut apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang lebih bermanfaat.
e.       Ming Chia
Ming Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”, dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti “eksistensi”, “relativitas”, “kausalitas”, “ruang” dan “waktu”.
f.        Fa Chia
Fa Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali.
g.      Mencius dan Xunzi
Konfusianisme bermula dari ajaran Konfusius, tetapi kemudian dibangun dan dikembangkan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan ajarannya pada Ren, tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus dikembangkan yi atau kebaikan. “Yang disimpan dalam hati adalah ren, yang dipakai dalam tindakan adalah yi.” Jadi, ren adalah prinsip tepat untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi adalah cara tepat untuk membimbing tindak eksternal.
Mencius mengritik Mohisme mengenai tata hubungan relasi. Mo Tzu mengabaikan hierarki ini dengan menekankan kesamaan kedudukan dalam relasi. Yang Tzu lebih menekankan diri sendiri. Ia menunjukkan bahwa karna tidak adanya hierarki ini dan menekankan diri sendiri, Yang Tzu telah menentang rasa kemanusiaan dan keadilan yang arah nyatanya peduli pada orang lain. Pada Mo Tzu tidak ada gradasi cinta (no gradations of greater or lesser love). Lebih lanjut lagi, Ia menekankan Sistem Keluarga yang diungkap Confusius; yaitu sistim masyarakat Tionghoa, ada 5 jenis hubungan yaitu Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri, Kakak-Adik, teman-teman.
Penggalang Konfusianis lainnya adalah Xunzi. Dia adalah eksponen prinsip prinsip Konfusius, tapi pengkritik Mencius. Bila Mencius dapat dikatakan sebagai wakil dari sayap idealistic, maka Xunzi merupakan wakil dari sayap realistic, karena ia menekankan control social dan kodrat manusia itu buruk.
h.      Daoisme
Lao Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada yang salah dalam hakekat masyarakat dan peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk membuang semua pranata dan konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa manusia yang dulu mempunyai suatu sorga kemudian hilang karena kekeliruannya sendiri, yaitu karna ia mengembangkan peradaban. Menurut Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara terbaik untuk hidup adalah menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam, dari keadaan beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistic yang dikenal sebagai Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam.
Para penganut Daois memandang alam sebagai tempat mereka menarik diri, mencita citakan hidup sederhana, dengan wu wei sebagai inti ajaran mereka. Tetapi karena diantara mereka ada perbedaan dalam hal menafsirkan konsep Dao, muncullah dua anak aliran. Yang satu dipelopori oleh Zhuang Zi, yang lainnya dipelopori oleh Yang Zhu.
i.        Han Fei Zi
Dalam Kitab han Fei Zi kita temukan suatu sintesa bulat dari gagasan kaum Legalis berasal dari ajaran shi menurut Shen Dao, ajaran shu menurut Shen Buhai, dan fa menurut Shang Yang. Han Fei memakai teori Xunzi tentang kodrat manusia dalam upayanya mempertahankan bahwa hukum dan peraturan itu esensial dalam menjaga tatanan social dan perdamaian Han Fei juga memakai doktrin wu wei dari Laozi bagi prinsip politiknya bahwa roda pemerintahan yang memakai hukum yang terperinci harus berfungsi sendiri, tidak perlu ada campur tangan penguasa. Dengan demikian menandakan bahwa mereka bertentangan langsung dengan kaum konfusianis, yang menekankan nilai nilai etis dan pengaruh manusia.
Menurut Sima Tan (meninggal tahun 110 SM), keenam sekolah klasik tersebut kadang dikatakan mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina, yang terdiri dari:
a.       Rujia: kaum ilmuwan
b.      Daojia: kaum pertapa
c.       Yinyangjia: para ahli ilmu gaib
d.      Mojia: kaum ksatria
e.       Mingjia: para pendebat
f.        Fajia: ahli-ahli politik
2.      Zaman Pembaharuan
Zaman ini ditandai dengan masuknya Budhisme dari India, yang kemudian berkembang pesat di Cina dan memberikan warna baru bagi pemikir kefilsafatan Cina, Budhiisme sendiri banyak berbaur dengan alam pemikiran filsafat Cina, sehingga kemudian melahirkan aliran baru dalam Budhisme Chin yang diberi nama Cha’an Budhisme atau Ch’anisme. Selain Budhisme muncul juga aliran neo- Taoisme yang memberikan arti baru “Tao” sebagai “Nirwana”. Puncak dari zaman pembaharuan yang terjadi pada waktu pemerintahan dinasti Han, dengan munculnya seorang tokoh Tung Chung Shu.
3.       Zaman Neo –Konfusianisme
Dari tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
Neo-Konfusianisme adalah bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama Dinasti Song, tetapi aliran ini mulai nampak ke permukaan sudah sejak zaman dinasti Tang lewat Han Yu dan Li ao. Mereka membuka cakrawala baru Neo-Konfusianisme, yaitu dimensi kosmologis dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak boleh dilupakan. Kosmologi Zhou Dunyi merupakan pengembangan butir-butir ajaran Apendiks dari Kitab Yi Jing dan dia memakai diagram daois untuk ilustrasi dan membentuk ‘Tai Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi masih ada Shao Yong (kosmologis lain yang mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Bedanya dengan Zhuo dia memakai 64 hexagram Yi Jing).
Sementara Zhang Zhai (kosmologis lain yang juga mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug gagasan Qi). Mewarisi ‘ke-satu-an’ dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan Cheng Hao menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin, pahami itu dan tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah segalanya. Secara metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming yang pada akhirnya membentuk sekolah Lu wang.
4.      Zaman Modern
Pada zaman modern, pemikiran kefilsafatn sangat banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang berasal dari Barat, hal ini dikarnakan banyaknya para padre yang msuk ke dartan Cina. Aliran yang paling berpengaruh yaitu pragmatism yang berasal dari Amerika Serikat. Pada 1950 dartan Cina dikuasai oleh pemikiran Marx, Lenin, dan tokoh yang terkenal Mao Ze Dong.
Ciri-Ciri Filsafat Cina
Pertama-tama karena masalah politik dan pemerintahan merupakan masalah sehari hari yang tidak dapat dihindarkan, maka filsafat Cina berkecendrungan mengutamakan pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain ia cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia. Para ahli sejarah, mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut, adalah:
1.      Dalam pemikiran kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat dalam tradisi filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan yang muncul dari kehidupan yang aktual.
2.      Secara umum filsafat Cina bertolak dari semacam ‘humanisme’. Tekanannya pada persoalannya kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian besar filosof Cina.
3.      Dalam pemikiran filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu. Etika dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik. Sedangkan inti etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
4.      Meskipun menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup bermasyarakat secara bijak dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan manusia mendapat perhatian besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan, kesetaraan dan kesederajatan itu.
5.      Filsafat Cina secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan. Sikap demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam dan tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih.
6.      Agama dipandang tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau penghormatan pada leluhur.
7.      Penghormatan terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik. Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme nilai-nilai.
8.      Dilihat dari sudut pandang intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu. Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai sasaran apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan integratitas pribadi yang kokoh.



Sumber
Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi Ke Arah Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia Group
Elqorni, Ahmad. 2014. FILSAFAT CINA: The Origins of Chinese Philosophy by Chung
            Ying Cheng. Diperoleh dari https://elqorni.wordpress.com/2014/05/29/filsafat-
cina-the-origins-of-chinese-philosophy-by-chung-ying-cheng/












Comments

Popular posts from this blog

Hubungan Epistemologi, Metodologi, Dan Metode Ilmiah

Hubungan Epistemologi, Metodologi, Dan Metode Ilmiah Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melainkan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis (Senn, 2002). Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode merupakan prosedur ...

Implementasi Dalam Penelitian

Implementasi Dalam Penelitian Pelaksanaan penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif, sebenarnya merupakan langkah-langkah sistematis yang menjamin diperoleh pengetahuan yang mempunyai karakteristik rasional dan empiris. Secara filosofis kedua pendekatan tersebut mempunyai landasan yang berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang didasarkan pada filsafat positivistik. Filsafat positivistik berpandangan bahwa gejala alam dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Proses penelitian dimulai dari proses yang bersifat deduktif, artinya ketika menghadapi masalah langkah pertama yang dilakukan adalah mencari jawaban secara rasional teoretis melalui kajian pustaka untuk penyusunan kerangka berpikir. Bagi penelitian yang memerlukan hipotesis, kerangka berpikir digunakan sebagai dasar untuk menyusun hipotesis. Langkah berikutnya adalah mengumpulkan dan menganalisis data. Tujuan utama langkah ini adalah un...

Perbedaan Ilmu Dengan Pengetahuan Mistik

Perbedaan Ilmu Dengan Pengetahuan Mistik A.     Ilmu 1.     Hakikat ilmu Ilmu bersifat rasional Contoh: Air selalu menempati ruang 2.     Struktur ilmu Metode ilmiah Contoh: Makhluk hidup yang ada didunia ini selalu berkembang dan tumbuh 3.     Epistimologi ilmu Epistimologi yang mengkaji pengetahuan manusia. Pembagian epistimologi yang meliputi epistimologi umum (memunculkan pertanyaan  ada apa? ), epistimologi khusus (memunculkan pengetahuan yang diproses dan dapat di pertanggung jawabkan, metodologi (mengkaji langkah-langkah praktis untuk memperoleh pengetahuan yang benar).  Pada mulanya sumber pengetahuan adalah akal. Adapun pengembangan yang lain menyatakan pengalaman, nalar, intuisi, keyakinan, otoritas dan wahyu merupakan sumber pengetahuan. Sumber pengetahuan merupakan sumber dalam rangka mencari kebenaran. Dimana teori kebenaran terdiri atas teori korespondensi, teori koherensi, teori...