Sejarah Filsafat Cina
Filsafat
Cina dapat dikatakan hidup dalam kebudayaan Cina. Hal ini disebabkan karena
pemikiran filsafat selalu diberikan dalam setiap jenjang pendidikan dasar
sampai jenjang pendidikan tinggi. Menurut rakyat Cina, fungsi filsafat dalam
kehidupan manusia yaitu untuk mempertinggi tingkat rohani. Artinya, rohani manusia
diharapkan dapat menjulang tinggi untuk mencapai nilai-nilai yang lebih tinggi
dari pada nilai-nilai moral. Filsafat Cina erat hubnganya dengan keadaan alam,
dan masyarakat.
Jika
dibandingkan dengan filsafat Barat dan India, filsafat Cina lebih
antroposentris dan pragmatis. Antroposentris karena memang dalam sejarah Cina
fokusnya masalah manusia, pragmatis dalam arti bagaimana manusia itu ada
keseimbangan antara dunia dan surga dapat tercapai. Filsafat Cina dibagi dalam
4 (empat) priode, yakni zaman kuno (600-200 SM), zaman pembaharuan (200SM-1000
SM), zaman Neo- Konfusianisme (1000-1900 M) dan zaman modern (1900- sekarang).
1.
Zaman
Kuno
Menurut tradisi,
periode ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat, seratus aliran yang
semuanya mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep
yang dipentingkan secara umum, misalnya “tao” (jalan), “te” (keutamaan atau
seni hidup), “yen” (perikemanusiaan), “i” (keadilan), “t’ien” (surga) dan
“yin-yang” (harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip
pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik adalah:
Konfusianisme
a.
Konfusianisme
Kong
Hu Cu merupakan seorang filosof besar Cina. Dialah orang pertama pengembang
sistem yang memadukan alam fikiran dan kepercayaan orang Cina yang paling besar
filosofinya menyangkut moralitas orang perorang dan konsepsi suatu pemerintahan
tentang cara-cara melayani rakyat dan memerintahnya lewat tingkah laku teladan
yang sekarang telah menyerap dalam kehidupan dan kebudayaan orang Cina selama
lebih dari dua ribu tahun. Dari pengaruh pemikiran inilah Confusianisme banyak
menghasilkan para intelektual di Cina, dan pengaruh intelektualnya ini
berpengaruh terhadap sebagian penduduk di dunia.
Confusius
(bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, “guru dari suku Kung”) hidup antara 551
dan 497 SM di daerah Lu di Shantung. Ia mengajarkan bahwa Tao (“jalan” sebagai
prinsip utama dari kenyataan) adalah “jalan manusia”. Artinya: manusia sendirilah
yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik.
Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui
perikemanusiaan (“yen”), yang merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki
semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda. Dalam bahasa Mandarin aliran
ini disebut 儒家 Rujia. Rujia memang sering
diartikan sebagai filsafat Khonghucu. Sebenarnya Rujia berarti filsafat
cendikiawan, 儒 Ru sendiri berarti
cendikiawan atau sarjana.
Pada
usia muda, yakni 17 tahun, Confusius diangkat menjadi pengawas kerajaan,
sebagai pemilik ladang gandum umum dan lumbung pangeran, kemudian menjadi
Kepala Peternakan. Ia seorang yang suka belajar. Pada usia 22 tahun ia mulai
mengajar. Setahun kemudian ia ditinggalkan ibunya. Menurut adat, ia harus
mengundurkan diri dari keramaian untuk berduka cita selama tiga tahun. Keadaan
kacau pada masa itu menyebabkan ia tidak taat pada adat. Sikap Confusius sangat
dihormati, terutama oleh murid-muridnya yang setia. Selama berduka cita, yaitu
selama tiga tahun itulah ia mendalami kesusastraan, sejarah, dan adat istiadat
dari zaman Wen sampai Mu yang tersimpan dalam perpustakaan kerajaan.
Confusius
yakin bahwa untuk mengamankan keadaan, maka harus kembali pada jalan yang telah
ditempuh oleh yao dan Shun, yaitu dengan jalan berbakti dan setia. Ia belajar
lagi dari semua buku-buku yang ada tentang agama, adat, sastra, sejarah, musik,
dan lain-lain. Kemudian semuanya itu digubah dan disadur sehingga berbentuk
pedoman hidup bangsa Cina. Setelah habis masa duka citanya ia mengunjungi
loyang yang dibangun oleh Pangeran Chou. Ia mulai lagi mengajarkan pada
murid-muridnya tentang sejarah, kesusastraan, perihal upacara, musik syair, dan
terus mencatat segala hal yang berarti dan diketahuinya dalam tulisan yang
berjudul “The Books of History (Shang Shu), The pring and Autum Annals, The
Books of Rites, dan The Book of Song.
b. Taoisme
Taoisme
diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan
Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam” lah
yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif,
substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Tse
lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak
metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao.
Kesadaran ini juga dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak
begitu”) dan dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta
ignorantia”, “ketidaktahuan yang berilmu”).
Taoisme
di sini adalah 道家 Daojia (=filsafat
Jalan/Tao). Mula-mula oleh Sima Tan aliran ini disebut 道德家
Daodejia (filsafat jalan dan kebajikan), belakangan disebut Daojia. Harap
dibedakan pengertiannya dengan 道教 Daojiao
(agama Tao). Umumnya keduanya sama2 ditulis dalam bahasa Inggris sebagai
Taoism. Daojia juga harus dibedakan dengan 道學
Daoxue, yang merupakan aliran kebangkitan Rujia baru yang muncul ketika Dinasti
Song. Oleh orang Barat Daoxue disebut Neo-Confucianism.
Sebagai
suatu ajaran filosofis, Taoisme terus berkembang sampai abad kedua sebelum
Masehi. Filsafat Taoisme juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di
dalam ajaran-ajaran awal tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber
yang unik dari alam semesta dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia
terdiri dari bagian yang positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang
berlawanan selalu mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh
melakukan tindakan yang tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap
pasrah terhadap hukum kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei. Di
dalam masyarakat Cina kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas.
Sejak
Taoisme mulai dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara
Taoisme sebagai filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada
pertengahan 1950, para ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada
perbedaan tegas di antara keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas
tradisi yang sama. Marcel dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang
melakukan penelitian mendalam di bidang ini. Memang, ada keterkaitan erat
antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao sendiri dianggap
sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai agama. Buku
paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudul Classic of Great Peace (T’ai-p’ing Ching) yang dianggap merupakan
tulisan tangan langsung dari Lao Tzu. Dalam arti tertentu, Lao Tzu sendiri
seringkali dianggap sebagai, dewa. Ia punya beberapa julukan, seperti, Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary
Emperor, dan yang memiliki status sebagai Dewa (The Divine) itu sendiri.
c. Yin-Yang
“Yin”
dan “Yang” adalah dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. “Yin” itu bersifat pasif,
prinsip ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan
untuk yang dingin. “Yang” itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari,
api, dan laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu
dalam kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan
derajat Yang tertentu.
d. Moisme
Aliran
Moisme didirikan oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang
terpenting adalah “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan
bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis,
langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna
dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak
sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang
tidak berguna, dan oleh karenanya dianggap jelek. Etika Mo Tse mengenal prinsip
yang antara lain dalam agama kristen disebut kaidah emas: setiap orang harus
memperlakukan negara-negara asing seperti tanah air sendiri, keluaga lain
seperti keluarga sendiri, orang lain seperti dirinya sendiri. Perintah ini
cukup untuk mencapai kebahagiaan dan kemakmuran umum.
Sekolah
Mo berakar dari para pendekar yang kehilangan posisi/jabatannya di kerajaan dan
kemudian menjadi pengembara (游侠/ yóuxiá).
Adapun perbedaan pendapat anatara konfusianis dan mohis adalah sebagai berikut:
Para Konfusianis mementingkan relasi yang tepat (Lǐ, tanpa memikirkan
keberuntungan. Dari segi moral atau pendirian, para Konfusianis mengutamakan
kebenaran dan kemurnian, tanpa menghitung keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ
lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara khusus keberuntungan (Lì) dan
pencapaian (Kung). Dari bab ke-35 Mo Tzŭ mengatakan: “penilaian standar harus
dilakukan. Tanpa standar ini, pembedaan antara betul salah, keberuntungan (li)
dan keburukan, tidak bisa dilakukan. Maka setiap penilaian harus diverifikas tentang
dasarnya (adakah ia berdasarkan pola tindakan raja-raja kuno yang bijaksana),
pembuktiannya (adakah ia terbukti penting lewat keberuntungan bagi rakyat
jelata), dan aplikasinya (apakah memberi keberuntungan pada negara dan rakyat”.
Dengan
demikian, tolok ukur kebenaran sebuah prinsip menurut Mo Tzŭ adalah seberapa
besar keberuntungan yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala
sesuatu harus berguna, dan semua prinsip harus bisa diaplikasikan supaya
menyumbang sesuatu nilai secara mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa
diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa diajarkan secara efektif kepada
manusia lain untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio belaka. Tetapi
pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan dengan idealisme Konfusianis, yang
mengutamakan pembentukan moralitas yang mendukung tindakan seseorang, supaya
bertindak mengikut apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang lebih
bermanfaat.
e.
Ming Chia
Ming
Chia atau “sekolah nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah
dan perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”,
dapat dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka
penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian
bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu
dalam Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti “eksistensi”, “relativitas”,
“kausalitas”, “ruang” dan “waktu”.
f.
Fa Chia
Fa
Chia atau “sekolah hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah
hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang
soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik
tidak harus mulai dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau
pembesar-pembesar lain, melainkan dari suatu sistem undang-undang yang keras
sekali.
g.
Mencius dan Xunzi
Konfusianisme
bermula dari ajaran Konfusius, tetapi kemudian dibangun dan dikembangkan oleh
Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan ajarannya pada Ren,
tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus dikembangkan yi atau kebaikan.
“Yang disimpan dalam hati adalah ren, yang dipakai dalam tindakan adalah yi.”
Jadi, ren adalah prinsip tepat untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi
adalah cara tepat untuk membimbing tindak eksternal.
Mencius
mengritik Mohisme mengenai tata hubungan relasi. Mo Tzu mengabaikan hierarki
ini dengan menekankan kesamaan kedudukan dalam relasi. Yang Tzu lebih
menekankan diri sendiri. Ia menunjukkan bahwa karna tidak adanya hierarki ini
dan menekankan diri sendiri, Yang Tzu telah menentang rasa kemanusiaan dan
keadilan yang arah nyatanya peduli pada orang lain. Pada Mo Tzu tidak ada
gradasi cinta (no gradations of greater or lesser love). Lebih lanjut lagi, Ia
menekankan Sistem Keluarga yang diungkap Confusius; yaitu sistim masyarakat
Tionghoa, ada 5 jenis hubungan yaitu Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri, Kakak-Adik,
teman-teman.
Penggalang
Konfusianis lainnya adalah Xunzi. Dia adalah eksponen prinsip prinsip
Konfusius, tapi pengkritik Mencius. Bila Mencius dapat dikatakan sebagai wakil
dari sayap idealistic, maka Xunzi merupakan wakil dari sayap realistic, karena
ia menekankan control social dan kodrat manusia itu buruk.
h. Daoisme
Lao
Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada yang salah dalam hakekat masyarakat dan
peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk membuang semua pranata dan
konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa manusia yang dulu mempunyai suatu sorga
kemudian hilang karena kekeliruannya sendiri, yaitu karna ia mengembangkan
peradaban. Menurut Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara terbaik untuk hidup
adalah menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam, dari keadaan
beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistic yang dikenal
sebagai Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam.
Para penganut Daois memandang alam
sebagai tempat mereka menarik diri, mencita citakan hidup sederhana, dengan wu
wei sebagai inti ajaran mereka. Tetapi karena diantara mereka ada perbedaan
dalam hal menafsirkan konsep Dao, muncullah dua anak aliran. Yang satu
dipelopori oleh Zhuang Zi, yang lainnya dipelopori oleh Yang Zhu.
i.
Han Fei Zi
Dalam
Kitab han Fei Zi kita temukan suatu sintesa bulat dari gagasan kaum Legalis
berasal dari ajaran shi menurut Shen Dao, ajaran shu menurut Shen Buhai, dan fa
menurut Shang Yang. Han Fei memakai teori Xunzi tentang kodrat manusia dalam
upayanya mempertahankan bahwa hukum dan peraturan itu esensial dalam menjaga
tatanan social dan perdamaian Han Fei juga memakai doktrin wu wei dari Laozi
bagi prinsip politiknya bahwa roda pemerintahan yang memakai hukum yang
terperinci harus berfungsi sendiri, tidak perlu ada campur tangan penguasa.
Dengan demikian menandakan bahwa mereka bertentangan langsung dengan kaum
konfusianis, yang menekankan nilai nilai etis dan pengaruh manusia.
Menurut
Sima Tan (meninggal tahun 110 SM), keenam sekolah klasik tersebut kadang
dikatakan mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina, yang
terdiri dari:
a. Rujia:
kaum ilmuwan
b. Daojia:
kaum pertapa
c. Yinyangjia:
para ahli ilmu gaib
d. Mojia:
kaum ksatria
e. Mingjia:
para pendebat
f.
Fajia: ahli-ahli politik
2.
Zaman
Pembaharuan
Zaman
ini ditandai dengan masuknya Budhisme dari India, yang kemudian berkembang
pesat di Cina dan memberikan warna baru bagi pemikir kefilsafatan Cina,
Budhiisme sendiri banyak berbaur dengan alam pemikiran filsafat Cina, sehingga
kemudian melahirkan aliran baru dalam Budhisme Chin yang diberi nama Cha’an
Budhisme atau Ch’anisme. Selain Budhisme muncul juga aliran neo- Taoisme yang
memberikan arti baru “Tao” sebagai “Nirwana”. Puncak dari zaman pembaharuan
yang terjadi pada waktu pemerintahan dinasti Han, dengan munculnya seorang
tokoh Tung Chung Shu.
3.
Zaman
Neo –Konfusianisme
Dari
tahun 1000 M. Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting.
Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir
Cina. Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran
material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali
dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang
dianggap sebagai sesuatu yang sama sekali asing.
Neo-Konfusianisme
adalah bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama Dinasti Song,
tetapi aliran ini mulai nampak ke permukaan sudah sejak zaman dinasti Tang
lewat Han Yu dan Li ao. Mereka membuka cakrawala baru Neo-Konfusianisme, yaitu
dimensi kosmologis dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak
boleh dilupakan. Kosmologi Zhou Dunyi merupakan pengembangan butir-butir ajaran
Apendiks dari Kitab Yi Jing dan dia memakai diagram daois untuk ilustrasi dan
membentuk ‘Tai Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi masih ada Shao Yong
(kosmologis lain yang mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab
Yi Jing. Bedanya dengan Zhuo dia memakai 64 hexagram Yi Jing).
Sementara
Zhang Zhai (kosmologis lain yang juga mengembangkan ajarannya berdasar juga
Apendiks dari Kitab Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug
gagasan Qi). Mewarisi ‘ke-satu-an’ dari segala dari Zhang Cai, itu yang
dikembangkan Cheng Hao menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi
dan Xin, pahami itu dan tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah
segalanya. Secara metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan
tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming
yang pada akhirnya membentuk sekolah Lu wang.
4.
Zaman
Modern
Pada zaman modern,
pemikiran kefilsafatn sangat banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang berasal
dari Barat, hal ini dikarnakan banyaknya para padre yang msuk ke dartan Cina.
Aliran yang paling berpengaruh yaitu pragmatism yang berasal dari Amerika
Serikat. Pada 1950 dartan Cina dikuasai oleh pemikiran Marx, Lenin, dan tokoh
yang terkenal Mao Ze Dong.
Ciri-Ciri
Filsafat Cina
Pertama-tama
karena masalah politik dan pemerintahan merupakan masalah sehari hari yang
tidak dapat dihindarkan, maka filsafat Cina berkecendrungan mengutamakan
pemikiran praktis berkenaan masalah dan kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan
lain ia cenderung mengarahkan dirinya pada persoalan-persoalan dunia. Para ahli
sejarah, mengemukakan beberapa ciri yang muncul akibat kecenderungan tersebut,
adalah:
1.
Dalam pemikiran
kebanyakan orang Cina antara teori dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan.
Dengan demikian pemikiran spekulatif kurang mendapat tempat dalam tradisi
filsafat Cina, sebab filsafat justru lahir karena adanya berbagai persoalan
yang muncul dari kehidupan yang aktual.
2.
Secara umum
filsafat Cina bertolak dari semacam ‘humanisme’. Tekanannya pada persoalannya
kemanusiaan melebihi filsafat Yunani dan India. Manusia dan perilakunya dalam
masyarakat dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan menjadi perhatian utama sebagian
besar filosof Cina.
3.
Dalam pemikiran
filosof Cina etika dan spiritualitas (masalah keruhanian) menyatu secara padu.
Etika dianggap sebagai intipati kehidupan manusia dan sekaligus tujuan
hidupnya. Di lain hal konsep keruhanian diungkapkan melalui perkembangan jiwa
seseorang yang menjunjung tinggi etika. Artinya spiritualitas seseorang dinilai
melalui moral dan etikanya dalam kehidupan sosial, kenegaraan dan politik.
Sedangkan inti etika dan kehidupan sosial ialah kesalehan dan kearifan.
4.
Meskipun
menekankan pada persoalan manusia sebagai makhluk sosial, persoalan yang
bersangkut paut dengan pribadi atau individualitas tidak dikesampingkan. Namun
demikian secara umum filsafat Cina dapat diartikan sebagaoi ‘Seni hidup
bermasyarakat secara bijak dan cerdas’. Kesetaraan, persamaan dan kesederajatan
manusia mendapat perhatian besar. Menurut para filosof Cina keselerasan dalam
kehidupan sosial hanya bisa dicapai dengan menjunjung tinggi persamaan,
kesetaraan dan kesederajatan itu.
5.
Filsafat Cina
secara umum mengajarkan sikap optimistis dan demokratis. Filosof Cina pada
umumnya yakin bahwa manusia dapat mengatasi persoalan-persoalan hidupnya dengan
menata dirinya melalui berbagai kebijakan praktis serta menghargai kemanusiaan.
Sikap demokratis membuat bangsa Cina toleran terhadap pemikiran yang anekaragam
dan tidak cenderung memandang sesuatu secara hitam putih.
6.
Agama dipandang
tidak terlalu penting dibanding kebijakan berfilsafat. Mereka menganjurkan
masyarakat mengurangi pemborosan dalam penyelenggaraan upacara keagamaan atau
penghormatan pada leluhur.
7.
Penghormatan
terhadap kemanusiaan dan individu tampak dalam filsafat hukum dan politik.
Pribadi dianggap lebih tinggi nilainya dibanding aturan-aturan formal yang
abstrak dari hukum, undang-undang dan etika. Dalam memandang sesuatu tidak
berdasarkan mutlak benar dan mutlak salah, jadi berpedoman pada relativisme
nilai-nilai.
8.
Dilihat dari sudut
pandang intelektual, Para filosof Cina berhasil membangun etos masyarakat Cina
seperti mencintai belajar dan mendorong orang gemar melakukan penelitian
mendalam atas segala sesuatu sebelum memecahkan dan melakukan sesuatu.
Demikianlah pengetahuan dan integritas pribadi merupakan tekanan utama filsafat
Cina. Aliran pemikiran, teori dan metodologi apa saja hanya bisa mencapai
sasaran apabila dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan luas dan
integratitas pribadi yang kokoh.
Sumber
Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi Ke Arah Filsafat Ilmu. Jakarta: Prenadamedia Group
Elqorni, Ahmad.
2014. FILSAFAT
CINA: The Origins of Chinese Philosophy by Chung
Ying Cheng. Diperoleh dari https://elqorni.wordpress.com/2014/05/29/filsafat-
cina-the-origins-of-chinese-philosophy-by-chung-ying-cheng/
Comments
Post a Comment