Asal
Usul Kota Sukabumi
Disusun
Oleh
Eneng
Indriyani F. H
Orang
selalu mencatat bahwa tanggal 13 Januari 1815 adalah hari kelahiran kota
Sukabumi. Tanggal tersebut dipergunakan sejak Dr. Andreas de Wilde secara resmi
menerima pengesahan nama Soeka Boemi dari pemerintah Hindia Belanda atas tanah
yang dimohonnya untuk perluasan perkebunan. Kala itu De Wilde adalah konglomerat
perkebunan, atau lebih dikenal dengan Preanger Planter. Anda bisa membayangkan
betapa kaya dan berpengaruhnya De Wilde dengan melihat rumahnya yang sekarang
dijadikan kantor Walikota (Balaikota) Bandung .
Tapi benarkah De Wilde yang menemukan
Sukabumi? Sejarah Sukabumi lebih tua dari itu. Lebih jelasnya akan di uraikan
pada pejelasan berikut.
Nyusuk
catur munday carita karuhun
Pagadungan
papantunan
Padjadjaran
seseleh kana papasten
teungteuingeun
musuh taya rasrasan
deudeuh
teuing nu geulis Nyi Pudak Arum
pasini
henteu ngajadi
Paku
Jajar di Gunung Parang gugupay
ngaharewos
talatah Ki Wangsa Suta
Tegal
Kole waris salin ngaran
Sukabumi
dayeuh manggung
Artinya:
Menggali
omongan secara mendalam
untuk
mendapatkan ceritera dari para leluhur
Pagadungan
berceritera pantun
Padjadjaran
berserah pada perkara
yang
telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa
tega
sekali musuh tidak memiliki sedikitpun rasa iba
sayang
sekali si cantik Nyi Pudak Arum janjinya tidak terjadi
Paku Jajar
di Gunung Parang melambai-lambai
berbisik
amanat Ki Wangsa Suta
Tegal
Kole memiliki waris berganti nama
Sukabumi
kota yang senantiasa mempertontonkan
kebolehannya
di atas pentas
Demikian rumpaka atau lirik lagu Paku Jajar Di Gunung Parang,
karya salah seorang sastrawan sekaligus budayawan Kota Sukabumi, almarhum Ki
Anis Djatisunda, yang memiliki sandi asma atau nama samaran Ki Rakean Puraga
Sastra. Menurut Ki Anis Djatisunda, lagu tersebut diambil dari kisah sebuah
dongeng atau ceritera kejadian asal-usul Kota Sukabumi, yakni Paku Jajar di
Gunung Parang, yang kejadiannya kira-kira pada jaman Padjadjaran Runtag atau
Runtuh, yakni pada abad ke-16, akibat digempur oleh pasukan Kesultanan Banten,
yang dibantu oleh pasukan dari Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak.
Dijelaskannya, Sukabumi yang terletak di antara kaki Gunung
Gede dan kaki Gunung Salak, pada masa itu disebut Tatar Pagadungan. Ada pula
yang menyebut Tanah Awatan Pagadungan dan Papanah Awatan Pagadungan. Tatar atau
wilayah tersebut, berada dibawah kekuasaan Padjadjaran Tengah, wilayah Bogor.
Pada saat Padjadjaran digempur oleh pasukan Kesultanan Banten, yang dibantu
oleh pasukan dari Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak, Tatar Pagadungan pun
tidak luput digempur oleh pasukan tersebut.
Adapun pusat Kabupaten Pagadungan, atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Kadatuan Pamingkis ini, kira-kira berada di daerah Gunung Walat,
dekat daerah Cibadak sekarang. Di Cibadak ini telah berdiri sebuah kabuyutan
yang diprakarsai Prabu Dharmasiksa jamannya kerajaan Sunda Galuh Kuno. Sedangkan
yang menjadi Bupati atau Datu pada masa itu, bernama Ki Ranggah Bitung.
Sementara isterinya bernama Nyai Raden Puntang Mayang. Dalam pertempuran
tersebut, Pusat Kabupaten Pagadungan porak poranda, serta dibakar hingga
hangus.
Selain itu, dalam pertempuran tersebut, Bupati atau Datu Ki
Ranggah Bitung gugur di medan perang. Sedangkan isterinya, Nyai Raden Puntang
Mayang, pada saat itu sedang mengandung anak pertamanya. Untuk menyelematkan
Nyai Raden Puntang Mayang, Jaro atau Lurah Kadatuan Pamingkis yang bernama Ki
Jaro Loa Kutud dan isterinya bernama Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang, membawanya
mengungsi. Mula-mula ke Gunung Bongkok, kira-kira di daerah Cibadak. Di Gunung
Bongkok, Ki Jaro Loa Kutud dan isterinya, mendapat keterangan dari Resi Tutug
Windu, bahwa Nyai Raden Puntang Mayang, harus dibawa mengungsi ke Gunung Sunda,
yang letaknya berada di daerah Palabuhan Ratu. Setelah mendapat keterangan dari
Resi Tutug Windu, Nyai Raden Puntang Mayang pun dibawanya ke gunung tersebut,
oleh Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya.
Di tengah perjalanan tepatnya di sebuah hutan menuju Gunung
Sunda, Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya dan Nyai Raden Puntang Mayang,
menemukan salah seorang anak laki-laki yang memiliki wajah jelek sekali, karena
mukanya seperti Monyet atau Kera, kira-kira berumur antara 6 sampai dengan 7
tahun. Setelah ditanya oleh Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya dan Nyai Raden
Puntang Mayang, anak tersebut berasal dari mana, termasuk nama orang tuanya
(ibu dan ayahnya) siapa?, anak tersebut tidak mau menjelaskannya. Anak tersebut
hanya mengatakan berada di hutan itu karena ada yang membawa, pada saat kampung
halamannya dibakar. Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya dan Nyai Raden Puntang
Mayang, memiliki keyakinan, bahwa anak tersebut bukan anak orang kebanyakan.
Lantas anak tersebut dibawanya mengungsi ke Gunung Sunda.
Dalam pengungsiannya di Gunung Sunda, Ki Jaro Loa Kutud
beserta isterinya, Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang, memanja dan menjaga Nyai
Raden Puntang Mayang dengan baik, hingga tiba saatnya melahirkan seorang anak
perempuan, yang diberi nama, Nyai Raden Pudak Arum, ada juga yang menyebut,
Nyai Arum Pudak Saloyang. Nama tersebut diambil dari nama Bunga Jaksi, yang
disebut Pudak. Sedangkan Arum diambil dari Harum atau Wangi Bunga Jaksi. Atau
nama tersebut bisa diartikan Bunga Jaksi yang Harum.
Demikian pula anak laki-laki yang ditemukan di tengah
perjalanan menuju Gunung Sunda, dirawat dan dipelihara dengan baik oleh Ki Jaro
Loa Kutud beserta isterinya, Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang, termasuk oleh Nyai
Raden Puntang Mayang, serta diberi nama, Wangsa Suta. Karena Nyai Raden Pudak
Arum dan Wangsa Suta hidup dan dibesarkan pada tempat yang sama serta oleh
orang-orang yang sama pula, maka pada saat menginjak dewasa, kedua anak
tersebut saling sayang menyayangi, yang akhirnya pada-pada jatuh cinta, serta
saling berjanji akan sehidup semati, yang akan diikat dengan tali perkawinan.
Namun kendati Wangsa Suta telah mengikat janji dengan Nyai
Raden Pudak Arum, Wangsa Suta memiliki keinginan untuk berkelana mencari ilmu
terlebih dahulu. Setelah mendapat ijin dari Ki Jaro Loa Kutud beserta
isterinya, Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang, termasuk oleh Nyai Raden Puntang
Mayang, beserta puterinya, Nyai Raden Pudak Arum, Wangsa Suta pun pergi
menyusuri hutan, hingga sampailah ke sebuah hutan, yang letaknya di sebelah
selatan Gunung Walat, tepatnya dekat daerah Cikembar sekarang. Di hutan
tersebut, Wangsa Suta bertemu dengan seorang resi, bernama Resi Saradea.
Setelah mengemukakan maksud dan tujuannya kepada Resi Saradea, Wangsa Suta
diterima menjadi murid Resi Saradea, serta diberi pelajaran berbagai ilmu
pengetahuan dan keterampilan, termasuk ilmu kesaktian, ilmu membangun, ilmu
perang, dan sebagainya.
Pada suatu hari, setelah Wangsa Suta memiliki berbagai ilmu
pengetahuan dan keterampilan serta kesaktian yang cukup, Resi Saradea berpesan
kepada Wangsa Suta, agar sebelum melangsungkan pernikahan dengan Nyai Raden
Pudak Arum, Wangsa Suta harus membuat sebuah kampung terlebih dahulu di Gunung
Parang, tepatnya di sebuah tempat yang miring ke sebelah selatan, yang ada
pohon Kiara Kembar dan pohon Paku Jajar yang bercabang atau berdahan lima,
serta banyak pohon Kole atau Pisang Hutan, yang berdaun ungu dan berbunga
hijau. Setelah tempat tersebut ditemukan, Wangsa Suta tidak menyia-nyiakan
waktu, ia segera membuat kampung sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh Resi
Saradea.
Menurut keterangan dari berbagai sumber yang disampaikan
kembali oleh almarhum Anis Djatisunda, bahwa pohon Kiara Kembar tersebut,
berada di sekitar Lapangan Merdeka Kota Sukabumi sekarang. Sementara pohon Paku
Jajar yang bercabang atau berdahan lima, berada di Jalan Martadinata sekarang,
tepatnya pada lahan yang digunakan HBC (Home Builders Center) Sukabumi.
Sedangkan Nyai Raden Pudak Arum, pada saat Wangsa Suta
berkelana mencari ilmu dan membuat kampung di Gunung Parang, nama dan
kecantikannya terdengar ke berbagai pelosok daerah, sehingga banyak bangsawan
dan para pembesar yang hendak mempersuntingnya. Pada suatu hari, datang seorang
utusan Demang Sukamukti, yang maksudnya meminang Nyai Raden Pudak Arum, untuk
dijadikan selir demang tersebut. Pada kesempatan tersebut, baik Ki Jaro Loa
Kutud beserta isterinya, Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang, maupun Nyai Raden Puntang
Mayang, tidak bisa mengambil keputusan atas kehendak demang tersebut, yang
akhirnya mereka menyerahkannya kepada Nyai Raden Pudak Arum.
Namun kehendak demang tersebut, ditolak secara baik-baik oleh
Nyai Raden Pudak Arum, karena ia sudah bertunangan dengan Wangsa Suta. Akan
tetapi utusan demang tersebut memaksanya secara kasar, yang akhirnya terjadilah
perkelahian dengan Nyai Raden Pudak Arum. Dalam perkelahian tersebut, karena
Nyai Raden Pudak Arum termasuk salah seorang perempuan yang tomboy serta memiliki
ilmu kesaktian yang luar biasa, ia berhasil mengambil keris kepunyaan utusan
demang tersebut, serta dilengkung-lengkungkannya hingga hampir patah, di depan
mata utusan demang tersebut, sehingga utusan demang tersebut merasa kaget dan
malu.
Namun demikian, kendati Nyai Raden Pudak Arum memiliki ilmu
kesaktian yang luar biasa, akhirnya bisa ditangkap sekaligus dibawa untuk
dipersembahkan kepada Demang Sukamukti. Tetapi, ketika akan mempersunting Nyai
Raden Pudak Arum, Demang Sukamukti meninggal dunia secara tiba-tiba, sehingga
Nyai Raden Pudak Arum selamat dan berhasil melarikan diri.
Kabar kecantikan Nyai Raden Pudak Arum tersebut, juga
terdengar oleh bangsawan-bangsawan kaya, khususnya yang tinggal di Padabeunghar
sekarang. Adapun sebab-musebabnya disebut Padabeunghar, karena di tempat
tersebut banyak bangsawan “beunghar” atau “kaya”. Hal tersebut sesuai dengan
namanya Padabeunghar, yakni pada-pada atau sama-sama “beunghar” atau “kaya”. Bangsawan-bangsawan
tersebut, sama-sama ingin mempersunting Nyai Raden Pudak Arum. Namun nasib
bangsawan-bangsawan tersebut, tidak jauh berbeda dengan nasib Demang Sukamukti.
Karena setiap bangsawan-bangsawan tersebut akan mempersunting Nyai Raden Pudak
Arum, senantiasa mengalami nasib yang sama dengan Demang Sukamukti, yakni
meninggal dunia secara tiba-tiba.
Demikian pula nasib yang dialami oleh salah seorang yang kaya
raya, bernama Ki Puru Sastra, yang berhasil mempersunting Nyai Raden Pudak
Arum, ketika akan tidur bedua bersama Nyai Raden Pudak Arum, Ki Puru Sastra
juga meninggal dunia secara tiba-tiba. Selain itu, juga salah seorang haji yang
tinggal di daerah Cantayan, yang memiliki isteri lebih dari 20 orang, namanya
Haji Ijamal’an, pada saat akan melamar Nyai Raden Pudak Arum, di pertengahan
jalan disambar petir, hingga meninggal dunia seketika. Perlu dijelaskan, pada
waktu itu, di Tatar Pagadungan sudah ada haji, karena agama Islam sudah masuk,
serta penganutnya sudah cukup banyak.
Kabar tentang kecantikan dan kesaktian Nyai Raden Pudak Arum,
serta banyaknya korban laki-laki yang meninggal dunia secara tiba-tiba
tersebut, pada suatu hari terdengar oleh Demang atau Lurah Mangkalaya, bernama
Demang Kartala, tepatnya di daerah Cisaat sekarang. Demang tersebut mempunyai
salah seorang penasehat orang Jawa, bernama Sakatana. Menurut Sakatana,
perempuan yang bernama Nyai Raden Pudak Arum tersebut, lebih baik dibunuh saja,
karena perempuan tersebut sangat “sangar” atau pembawa sial dan celaka. Pendek
kata, Nyai Raden Pudak Arum berhasil ditangkap, lalu kedua tangan dan kakinya diikat,
untuk dihukum mati, dengan cara dipenggal lehernya.
Sementara Wangsa Suta yang sedang membuat kampung di Gunung
Parang, sengaja pergi ke daerah Mangkalaya, karena merasa tidak enak hati.
Namun ketika sampai di daerah Mangkalaya, Wangsa Suta merasa kaget yang tiada
tara, karena mendapat kabar Nyai Raden Pudak Arum akan dihukum mati, dengan
cara dipenggal lehernya, atas perintah Demang Mangkalaya. Tetapi pada saat
salah seorang algojo akan memenggal leher Nyai Raden Pudak Arum dengan sebuah
golok, Nyai Raden Pudak Arum berhasil diselamatkan oleh Wangsa Suta, seraya
berbisik kepada Nyai Raden Pudak Arum, agar menunggunya di Gunung Parang,
tepatnya di bawah pohon Paku Jajar yang bercabang atau berdahan lima.
Setelah berbisik kepada Nyai Raden Pudak Arum, Wangsa Suta
berkelahi dengan salah seorang algojo. Namun pada saat Wangsa Suta sedang
berkelahi dengan salah seorang algojo tersebut, Nyai Raden Pudak Arum berhasil
ditangkap kembali oleh dua orang algojo lainnya. Selanjutnya kedua tangan dan
kakinya diikat kembali, serta dimasukan ke dalam sebuah karung dan diikat
sangat erat, yang selanjutnya dibawa dan dijual ke Pulau Puteri, ada pula yang
menyebut ke Kepulauan Seribu, yang letaknya berada di teluk Jakarta, tanpa
sepengetahuan Wangsa Suta. Karena pada saat sedang berkelahi dengan salah
seorang algojo tersebut, Wangsa Suta mengira, bahwa Nyai Raden Pudak Arum
berhasil melarikan diri, serta sudah sampai dan menunggu di Gunung Parang.
Setelah berhasil membunuh salah seorang algojo tersebut,
Wangsa Suta cepat-cepat pergi ke Gunung Parang, untuk menemui Nyai Raden Pudak
Arum. Namun setelah sampai di Gunung Parang, Wangsa Suta sangat terkejut,
karena Nyai Raden Pudak Arum tidak ada di Gunung Parang. Lantas Wangsa Suta
memanggil gurunya, Resi Saradea, yang pada saat Wangsa Suta pergi untuk membuat
kampung di Gunung Parang, Resi Saradea pun pindah ke Gunung Arca, tepatnya
tidak jauh dari Pasir Bedil, atau berada di sebelah barat dari daerah Cijangkar
Nyalindung sekarang.
Setelah dipanggil oleh Wangsa Suta, Resi Saradea pun datang,
seraya berkata kepada Wangsa Suta, yang isinya meminta agar jangan mencari dan
memikirkan Nyai Raden Pudak Arum. Karena Nyai Raden Pudak Arum sedang diutus
oleh waktu dan diperintah oleh zaman. Selain itu, ia juga meminta kepada Wangsa
Suta, agar menunggu waktu kembalinya Nyai Raden Pudak Arum ke Gunung Parang,
yang waktu dan zamannya sudah berbeda dan berganti, yakni apabila Gunung Parang
sudah dipenuhi oleh rumah, dan Tegal Kole sudah berubah menjadi Kota. Karena
pada saat itu, akan ada salah seorang perempuan cantik, yang suka membimbing
masyarakat, khususnya masyarakat yang sedang menderita baik lahir maupun batin,
serta senantiasa memberikan motivasi dan membesarkan hati perempuan, ter-utama
perempuan yang disakiti oleh suaminya. Perempuan tersebut, menurut Resi
Raradea, titisan Nyai Raden Pudak Arum. Pada waktu itulah, antara Wangsa Suta
dengan Nyai Raden Pudak Arum dapat bertemu dan bersatu kembali. Wallahu alam
bishawab!
Dari hari itu, Wangsa Suta tidak pernah meninggalkan Gunung
Parang. Dia setia menunggu titisan Pundak Arum. Sebagaimana pesan Saradea,
Gunung Parang memang terus berkembang dari masa ke masa. Sehingga jika 200
tahun kemudian, tahun 1815 De Wilde dianggap mendirikan Sukabumi, sesungguhnya
beliau hanya melanjutkan apa yang telah dirintis Wangsa Suta sekitar tahun
1600an. Lalu kemana sebenarnya Pundak Arum. Pundak Arum ternyata tertangkap
dinas rahasia Kademangan. Dengan dibungkus karung, tubuhnya di bawa ke
kepulauan Seribu, tepatnya pulau Putri. Dia menjadi tahanan pulau sampai ajal
menjemput.
Hingga saat ini, siapa yang masih mengenal Wangsa Suta. Siapa
yang tahu Gunung Parang adalah kilometer 0 kota Sukabumi. Tetapi sepertinya kita memang selalu amnesia kalau
menyangkut sejarah. Tidak heran kalau kita juga masih merasa bingung dengan
jati diri kita.
Sumber:
Ruyatna
Jaya. 2003. Sejarah Sukabumi. Pemkot
Sukabumi
Ruswan. Ahmad. 2013. Asal Mula Sukabumi. Diperoleh dari
Sumardi, Endang. 2015. Asal-Usul Kota Sukabumi. Diperoleh dari
Wow! Keren banget kak!!!
ReplyDeleteTerkagum kagum diri ini, ketika baca dari awal sampai akhir.
Ohiya, aku lagi cari2 sejarah asal usul Sukabumi. Mungkin terlalu banyak sumber yang juga lumayan banyak beda nya. Tapi entah kenapa untuk dijadikan cerita di lomba story telling nanti,aku pilih yang di Blog ini aja deh. Hatur nuhun pisan!!^^
Kaka klo nada lagu asal usul sukabumi kyk gmn ya? Butuh banget soalnya
ReplyDelete