Skip to main content

Tujuan Pendidikan Paulo Freire


Tujuan Pendidikan Paulo Freire
Tujuan pendidikan menurut Freire adalah humanisasi. Tujuan humanisasi juga di ungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara (Syaripudin, 2015) bahwa "dharma manusia adalah mewujudkan kemanusiaan". Selanjutnya Menurut Hasbullah (2000), "humanisasi menurut Ki Hajar Dewantara yaitu menuntut segala kekuatan kodrat yang pada anak-anak itu, agar mereka sebagau manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya". Kodrat dimaknai sebagai sifat bawaan manusia, menurut Ki Hajar Dewantara (Syarifudin, 2015:26) manusia dilahirkan dengan akal bekal kekuatan kodrati yang lengkap tetapi belum semuanya sempurna, adapun kekuatan kodrati tersebut yaitu: akal budi, rasa iman, isting, nafsu (memiliki potensi untuk berbuat baik atau jahat). Berdasarkan pendapat Syarifudin dan Hasbulloh dapat disimpulkan bahwa humanusasi menurut konsep Ki Hajar Dewantara adalah tercapainya kodrat dan dharma manusia.
Kodrat dan dharma manusia bisa di capai melalui atribut-atrbut dari jiwa manusia yang disebut trisakti jiwa (cipta, rasa, dan karsa). Menurut Ki Hajar Dewantara (2004: 93-94), maksud lihut dati pendidikan yaitu tertuju pada fugsionalitas dari jiwa yang termanifestasi pada akal, hati, dan kehendak. Ki Hajar Dewantara menambahkan bahwa untuk mengetahui kodrat alam itu perlulah orang yang memiliki budi yang bersih (wisjheid) dan termanifestasi pada angan-angan yang tajam, halusnya rasa, dan suci kuatnya kemauan, yaitu sempurna cipta-rasa-karsa dan ketiganya harus sakti, oleh karena itu disebut Trisakti jiwa. Akal bisa sakti jika ia mampu men-cipta, hati bisa sakti jika ia mampu me-rasa, dan kehendak bisa sakti jika ia mampu meng-karsa. Konsep tentang Trisakti jiwa akan dijabarkan sebagai berikut.
  1. Cipta
Menurut Ki Hajar Dewantara (2004: 451) "Cipta dapat diartikan sebagai daya berfikir yang bertugas mencari kebenaran akan sesuatu denga jalan membandingkan, mencari beda dan samanya. Cipta juga merupakan aktivitas berfikir untuk memperoleh ketentuan mana yang salah". Selanjutnya Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa dalam proses kejiwaan ini perlu kiranya difasilitasi oleh pengalaman-pengalaman tentang yang benar dan yang salah. Dalam hal mencipta, manusia berkuasa untuk berangan-angan secara aktif dan subjektif, yaitu bertindak menurut keinginanya sendiri.
Pendidikan sebagai humanisasi harus mengkondisikan peserta didik menjadi subjek yang mampu mencipta, daya cipta merupakan kesaktian dari akal. Jadi jika akal disamakan layaknya kardus yang harus diisi ilmu pengetahuan dengan buku-buku yang tekstual, dampaknya akal hanya mampu mencopy realitas atau pengetahuan, maka akalnya melempem, tidak sakti, tidak berdaya, oleh karenanya akal yang ajaib untuk mengkonfirmasi segala ciptaan Tuhan, mere-kreasinya menjadi apapun yang bisa berguna dan bermanfaat bagi kehidupannya. Oleh karena itu pendidikan harus tertuju pada pemberdaya kesaktian dari akal yaitu cipta. Itulah Humanisasi.
  1. Rasa
Menurut Ki Hajar Dewantara (2004: 451-452) "Rasa adalah segala gerak gerik hati kita, yang menyebabkan kita, mau tidak mau, merasa senang atau susah, sedih atau gembira, malu atau bangga, puas atau kecewa, berani atau takut, marah atau berbelas kasih, benci atau cinta, begitu seterusnya. Yang mengalami rasa adalah hati, bukan fikiran kita. Melalui kesaktian cipta kita dapat menperoleh ketetapan tentang kebenaran atau kesalahan, maka dengan kesaktian rasa dalam jiwa kita dapat memperoleh ketentuan tentang apa yang baik dan apa yang buruk. Berdasarkan pendapat Ki Hajar Dewantara tentang konsep "rasa", dapat dimaknai bahwa manysia itu memiliki hati yang mampu merasa, itu artinya manusia memiliki kepekaan pada segala sesuatu yang di anggap baik ataupun buruk.
Nilai kebaikan tentunya diselimuti oleh nilai-nilai moralitas universal yang menuntut manusia untuk senantiasa melakukan hal-hal yang bersifat normative (what should be). Kepekaan dari hati yang mampu merasa akan menuntut manusia untuk senantiasa melakukan tindakan kebaikan secara konsisten dan ajeg. Tidakan moral yang bertentangan dengan nilai kebaikan universal akan membuat hatinya merasa tidak nyaman, gelisah, dan berdosa.
  1. Karsa
Menurut Ki Hajar Dewantara (2004: 452) "Karsa merupakan kemauan atau kehendak yang timbul seakan-akan sebagai hasil buah pikiran dan perasaan. Sebenarnya kemauan merupakan lanjutan daripada hawa nafsu kodrati yang ada dalam jiwa manusia, namun sudah dipertimbangkan oleh pikiran serta diperhalus oleh perasaan, hingga tidak lagi bersifat "instincten" yang mentah, ataupun dorongan-dorongan yang kasar dan rendah". Berdasarkan pendapat Ki Hajar Dewantara, dapat dimaknai bahwa karsa merupakan kemauan atau kehendak yang tidak bersifat instingtif, jika kemauan dikendalikan oleh hawa nafsu kodrati yang bersifat kasar dan rendah layaknya insting hewani, maka kehendak manusia akan melahirkan tindakan deskruktif.
Hal yang demikian bukanlah karsa, karsa adalah kemauan yang sakti yaitu kemauan yang didasari atas pertimbangan akal dan hati, dialektika antara akal dan hati akan melahirkan kemauan yang berujung pada tindakan reflektif, tindakan yang penuh kesadaran, bukan tindakan instingtif.
Saktinya ketiga komponen jiwa yaitu akal, hati dan kehendak akan menghasilkan manusia susila atau mahluk yang berbudi dan beradab. Juga manusia yang mampu mengurus diri sendiri, manusia lain, dan bangsanya. Dalam konsep Ki Hajar Dewantara disebut Trihayu (memayu hayuning salira, menungsa, dan bangsa). Konsep Humanisasi dari Ki Hajar Dewantara sama halnya humanisasi bagi Paulo Freire, melalui bangkitnya subjek dari situasi penindasan, melalui bangkitnya kesadaran. Kesadaran adalah manifestasi jiwa yang mengawali proses penyempurnaan manusia melalui dialektika antara akal, hati dan tindakan.

Sumber
Kesuma, Dharma & Teguh Ibrahim. 2016. Struktur Fundamental Pendagogik:
            Membedah Pemikiran Paulo Freire. Bandung: PT Refika Aditama.
                                    

Comments

Popular posts from this blog

Hubungan Epistemologi, Metodologi, Dan Metode Ilmiah

Hubungan Epistemologi, Metodologi, Dan Metode Ilmiah Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menuju ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan yang bergantung pada metode ilmiah, karena metode ilmiah menjadi standar untuk menilai dan mengukur kelayakan suatu ilmu pengetahuan. Sesuatu fenomena pengetahuan logis, tetapi tidak empiris, juga tidak termasuk dalam ilmu pengetahuan, melainkan termasuk wilayah filsafat. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis (Senn, 2002). Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan dalam metode tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu. Jika metode merupakan prosedur ...

Implementasi Dalam Penelitian

Implementasi Dalam Penelitian Pelaksanaan penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif, sebenarnya merupakan langkah-langkah sistematis yang menjamin diperoleh pengetahuan yang mempunyai karakteristik rasional dan empiris. Secara filosofis kedua pendekatan tersebut mempunyai landasan yang berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang didasarkan pada filsafat positivistik. Filsafat positivistik berpandangan bahwa gejala alam dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Proses penelitian dimulai dari proses yang bersifat deduktif, artinya ketika menghadapi masalah langkah pertama yang dilakukan adalah mencari jawaban secara rasional teoretis melalui kajian pustaka untuk penyusunan kerangka berpikir. Bagi penelitian yang memerlukan hipotesis, kerangka berpikir digunakan sebagai dasar untuk menyusun hipotesis. Langkah berikutnya adalah mengumpulkan dan menganalisis data. Tujuan utama langkah ini adalah un...

Perbedaan Ilmu Dengan Pengetahuan Mistik

Perbedaan Ilmu Dengan Pengetahuan Mistik A.     Ilmu 1.     Hakikat ilmu Ilmu bersifat rasional Contoh: Air selalu menempati ruang 2.     Struktur ilmu Metode ilmiah Contoh: Makhluk hidup yang ada didunia ini selalu berkembang dan tumbuh 3.     Epistimologi ilmu Epistimologi yang mengkaji pengetahuan manusia. Pembagian epistimologi yang meliputi epistimologi umum (memunculkan pertanyaan  ada apa? ), epistimologi khusus (memunculkan pengetahuan yang diproses dan dapat di pertanggung jawabkan, metodologi (mengkaji langkah-langkah praktis untuk memperoleh pengetahuan yang benar).  Pada mulanya sumber pengetahuan adalah akal. Adapun pengembangan yang lain menyatakan pengalaman, nalar, intuisi, keyakinan, otoritas dan wahyu merupakan sumber pengetahuan. Sumber pengetahuan merupakan sumber dalam rangka mencari kebenaran. Dimana teori kebenaran terdiri atas teori korespondensi, teori koherensi, teori...